Penghancuran Buku Memberangus Peradaban

| dilihat 2119

AKARPADINEWS.COM | Merunut sejarah hari buku dunia (World Book Day) yang jatuh setiap tanggal 23 April, dimulai sejak 1995 pada Sidang Umum UNESCO di Paris. Penetapan hari buku dunia diinspirasi oleh perayaan Hari Saint George di Catalonia- Spanyol pada abad pertengahan.  

Saint George merupakan perwira tentara Romawi yang dianggap sebagai Santo pelindung dan dihormati gereja katolik. Pada tanggal 23 April, Shakespeare, Cervantes, Inca Garcilaso de la Vega dan Josep Pla meninggal dunia sedangkan Maurice Druon, Vladimir Nabokov, Manuel Mejía Vallejo and Halldór Laxness dilahirkan.

Tradisi yang berlaku pada hari Saint George adalah pesta mawar. Menurut legenda, Saint George telah membunuh naga untuk menyelamatkan puteri Catalan lalu memberikan mawar paling cantik yang berasal dari darah naga. Merujuk dengan legenda tersebut, pesta mawar dirayakan sebagai hari Saint George di Catalonia dengan mempersembahkan bunga mawar kepada kekasihnya.

Tahun 1923 para pedagang buku memengaruhi tradisi ini untuk menghormati Miguel de Cervantes, novelis dunia asal Spanyol yang meninggal pada tanggal 23 April. Novel terpopuler Miguel adalah "Don Quixote de la Mancha" (Don Kisot), dianggap sebagai novel modern pertama, salah satu karya terbesar dalam Sastra Barat, dan yang terbesar dalam bahasa Spanyol. Kemudian pada tahun 1925 para perempuan mulai memberikan sebuah buku sebagai pengganti mawar yang diterimanya. Pada masa itu lebih dari 400.000 buku terjual dan ditukarkan dengan 4 juta mawar.

Itulah sejarah di balik Hari Buku Sedunia. Buku dan mawar. Cinta dan ilmu begitu lekat sebagai media kasih sayang selain peringatan Saint George, Miguel de Cervantes beserta sastrawan besar lainnya.  Hari buku di Indonesia pertama kali diperingati pada tahun 2006 yang diprakarsai Forum Indonesia Membaca.

Mengapa buku menjadi penting, karena membaca buku sama halnya dengan membaca dunia. Tidak hanya sejarah yang indah di balik hari buku. Namun, buku juga mempunyai sejarah kelam melalui aksi penghancuran buku dan berbagai dokumen yang kebanyakan dilakukan dengan cara dibakar/ biblioklasme. Aksi ini kerap kali dilakukan secara seremonial bersama-sama.

Fernando Baez, pakar perbukuan asal Venezuela terdorong menuliskan sejarah penghancuran buku ketika berada di Irak. Pada Mei 2003, pasukan Amerika Serikat membabi buta menggempur Bagdad. Fernando terperangah melihat Universitas Bagdad, salah satu pusat pendidikan di Timur Tengah itu hancur. Semua buku di perpustakaan hancur dibakar dan dijarah. Seorang mahasiswa sejarah menghampiri dan bertanya, “Mengapa orang menghancurkan buku-buku? Bukankah anda ahlinya?”

Pertanyaan singkat mahasiswa tersebut menggelisahkan Fernandez. Selama 55 abad buku telah dimusnahkan, dan kita sama sekali tidak tahu apa sebabnya. Ada ratusan kajian mengenai asal mula buku dan perpustakaan, tapi tidak ada satupun sejarah mengenai penghancurannya. Bagi Fernandez, tidakkah ini mengherankan?

Akhirnya Fernandez melakukan penelitian selama 12 tahun dan menuliskannya dalam buku “Historia Universal de la destruccion de libros” (2004) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” dalam rentang waktu 55 abad.

Fernandez menjelaskan sejarah penghancuran buku dari zaman dunia kuno, dari Byzantium hingga abad ke-19 dan dari abad ke-20 hingga saat ini. Pada masa kuno, penghancuran buku di mulai di Sumeria tempat buku muncul pertama kalinya dalam bentuk lempengan yang dibuat dari tanah liat dan dihancurkan saat perang. Mesir, Yunani, Israel, Cina dan Romawi juga tak lepas dari penghancuran buku dengan keruntuhan berbagai perpustakaan kuno.

Di era Byzantium hingga abad ke 19 terungkap bahwa Perang Salib sebagai perang terlama di dunia turut menghancurkan buku dan manuskrip berharga di antara ke dua pihak dari pasukan Kristen dan Islam dengan cara menghancurkan perpustakaan ketika berhasil menaklukan wilayah lawannya.

Tidak hanya melalui perang, penghancuran buku dilakukan oleh otoritas gereja yang menganggap buku itu sesat sehingga dibakar di depan umum, bahkan tak ayal penulisnya pun turut dibakar bersama buku yang ia tulis. Pada pemerintahan Paus IV tahun 1559 disusun daftar buku yang dianggap membahayakan iman dan diberi nama Index Buku-Buku Terlarang karya 550 penulis untuk memudahkan para Inkuisitor menjalankan tugasnya.

Di abad ke 20, peristiwa Holocaust diawali dengan penghancuran buku sepanjang tahun 1933 sebagai awal dari pembantaian manusia pada tahun-tahun berikutnya. Gunungan buku-buku yang dilalap api mengilhami tungku-tungku krematorium kamp konsentrasi. Buku juga turut dihancurkan di Cina, Uni Soviet, Chile, Argentina, Bosnia dan yang menjadi sorotan dunia adalah penghancuran situs budaya dan penjarahan buku di Irak setelah jatuhnya rezim Sadam Husein. Fernando menegaskan bila Irak adalah sebuah bangsa yang telah kehilangan sebagian besar ingatannya. Irak adalah korban pertama pemusnahan kebudayaan pada abad ke-21.

Indonesia pun memiliki sejarah panjang dalam penghancuran buku, Fernandez menjelaskan satu kasus bahwa atas alasan yang lebih politis, pada 2007 pihak berwenang di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan di  Indonesia juga membakar lebih dari 30.000 buku ajar SMA di hadapan para siswa. Buku-buku itu tidak sejalan dengan sejarah versi pemerintah tentang usaha kudeta tahun 1965 di Indonesia, yang selama puluhan tahun dikambinghitamkan pada orang-orang komunis.

Tidak hanya dibakar, metode penghancuran buku dilakukan dengan membuang buku ke laut atau sungai, dihapus tintanya untuk ditulis menjadi buku baru, sebagai pembungkus mesiu atau mercon hingga sebagai alas kali.

Melalui karyanya, Fernande berupaya menteror dan membuka mata kita dengan segala usaha dari manusia untuk menghancurkan buku yang seringkali didasari motif moral, keagamaan dan politik. Penghancuran buku di mulai ketika buku itu dilahirkan. Buku adalah wahana pengetahuan sekaligus tempat persaingan kekuasaan sekaligus membentuk sebuah peradaban.

Tidak menutup kemungkinan peristiwa penghancuran buku akan terus berlangsung selama sejarah manusia berada, meskipun di era modern saat ini di mana sebagian buku menjelma dalam bentuk virtual. Buku adalah sumber pengetahuan yang menghubungkan sang penulis sebagai penggagas dan pembaca sebagai penafsir. Salah satu cara menyelamatkan buku menurut Muhidin M Dahlan (Gus Muh) dengan membacanya! Fisik buku bisa dihancurkan, tapi isu buku yang terekam dalam ingatan sulit untuk dihapus selama manusia masih dalam keadaan hidup. | Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 742
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 898
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 851
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 525
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1618
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1398
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya