Menjadi Betawi

| dilihat 1594

Bang Sèm

SILATURRAHMI lebaran dengan anak kemenakan selalu menarik perhatian. Terutama ketika mereka mulai menyoal hal ihwal tentang Betawi dan Betawian dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Tak bertumpu hanya pada pendekatan antropologi, antropografi, sosiologi dan lainnya.

Meski tak bisa diyakini semua orang dengan beragam argumennya -- dan saya tak mempersoalkannya -- saya berkeyakinan, Betawi adalah nilai, bukan semata etnis. Dalam konteks etnis saya lebih suka menyebutnya Betawian, karena bisa saja akar muasal seseorang itu beragam dan kompleks.

Betawian bisa asimilasi etnik dan ras yang bermula dari Arab, Aria, Persia, China -- kemudian Champa -- Kildan dengan masyarakat asli Kalapa -- tidak dalam konteks pemahaman aboriginal. Bisa juga asimilasi dengan beragam etnis dari gugusan jazirah al mulq -- minimal dari Malaka ke Maluku, dengan dominansi darah Bugis sebagai muasal orang laut, yang kemudian memberi warna khas pada masyarakat Melayu.

Pun bisa berasimilasi dengan darah yang terhubung dengan manusia purba, pithecantropus erectus yang ditemukan Eugene Dubois (1890) di Trinil. Bahkan sangat bisa berasimilasi dengan manusia purba yang hidup di Leang-Leang (Maros).  Selepas penghujung era es atawa pleistosen, untuk memasuki era agraris.

Dalam konteks nilai, Betawi dalam perpspektif saya adalah performa peradaban yang terus tumbuh dan berkembang membentuk nilai baru di masa depan. Modalnya adalah sikap terbuka dengan perubahan dan (tentu) universalitas nilai itu sendiri.

Saya sepandangan dengan Filosof Perancis, Paul RICŒUR (1964) untuk mengatakan, bahwa proses pencarian nilai suatu peradaban sangat dinamis, tidak statis. Bergerak ke masa depan dan tak pernah tertambat di masa kini dan masa lampau, yang sering membuat masyarakat terjebak oleh ambivalensia. Antara lain: secara jasmaniah hidup di abad ke 21 dan bersentuhan dengan produk budaya dan peradaban kini (termasuk teknologi dan sains), tetapi cara berfikir masih tertinggal di abad ke 14.

Dalam konteks Betawi sebagai nilai peradaban harus terus ada pencarian dengan beberapa tingkat kedalaman dimensi insaniah. Dengan cara itu, akan ditemukan nukleus kreatif sebagai salah satu indikator singgungan terhadap fenomena kehidupan (sosial, ekonomi, politik, tradisi, agama) dan paradigma berfikir yang ditimbulkannya. Termasuk dari nilai pada dimensi yang nampak, seperti nilai-nilai yang diekspresikan kaum Betawi dalam praktik moral kehidupan sehari-hari. Antara lain, tercermin dalam  fenomena kreatif, akhlak, dan berbagai faktor yang membentuk tradisi.

Tahun 2011, dalam Kongres Kebudayaan Betawi saya kemukakan, Betawi berproses to be nation, proses membangsa yang kemudian disalahtafsir banyak teman. Khasnya, ketika saya mengatakan, bahwa Indonesia adalah miniatur Betawi. Salahtafsir atau salahtampa itu, wajar, karena terlalu banyak orang memandang Betawi sebagai suku-bangsa -- yang tak salah dari perspektif etnis.

Nilai-nilai peradaban, menawarkan beberapa tingkatan ekspresi, mulai dari yang paling dangkal, sampai yang terdalam. Pada tingkat dangkal, mewujud melalui institusi tradisional. Betawi sebagai nilai, sebenarnya terbebas oleh hal ini, karena institusi tradisional hanya merupakan cerminan dari keadaan pikiran, kehendak, perasaan kelompok manusia pada saat tertentu dalam sejarah. Institusi tradisi selalu merupakan tanda abstrak yang perlu diuraikan, seperti lembaga adat. Tetapi, bukan merupakan representasi dasar inti budaya suatu masyarakat.

Institusi tradisional akan hanya mewadahi masyarakatnya menggali lapisan simbol yang seolah-olah membentuk representasi dasar suatu masyarakat. Seperti gelar dengan segala lambang dan narasinya.

Betawi tak memerlukan hal ini, karena bertolak belakang dengan prinsip ekuitas dan ekualitas (yang kini merupakan nilai global), egaliterianisma, dan integritas. Karena nilai dasar yang membentuk nilai Betawi adalah: kedudukan semua manusia di atas mukabumi, sama. Pembedanya adalah 'tingkat kualitas ketakwaannya kepada Allah.' Kualitas kepatuhan insan kepada khaliq, kepatuhan ciptaan terhadap Pencipta. Nilai ini yang memungkinkan Betawi bersikap terbuka dan mampu berinteraksi dengan beragam nilai darimana saja.

Para penjelajah (yang kemudian menjadi penjajah) mempengaruhi dengan sistem yang berlaku di lingkungan masyarakatnya, antara lain struktur sosial dan aturan-aturan interaksi, reasi, korelasi, termasuk dengan teori relasi yang ditawarkan Geertzs, kala meneliti masyarakat Islam di Jawa (khasnya Jombang).

Dengan menggunakan perspektif nilai, Betawi dicirikan oleh inti kreatif peradaban dan kemampuannya berhadapan dengan situasi dan kondisi yang mempengaruhinya dari masa ke masa. Termasuk kemampuannya berinteraksi dengan beragam budaya yang berbeda.

Perkembangan peradaban, termasuk modernitas selepas abad ke 11 dan memuncak pada abad ke 15 dan 16, terjadi pergulatan menarik, ketika etico mitos (mythes éthiques) - antara lain yang dibawa penjajah, melalui penetrasi Magelen) berhadapan dengan réalité éthique, sebagai ekspresi budaya sebagai ruh perlawanan atas penetrasi, yang tercermin dari catatan Pigafetta tentang peristiwa di Muara Gembong.

Betawi yang tercermin dalam ekspresi budayanya, seperti produk kreatif berbasis tanah, batu, logam, kayu, flora dan fauna sebagai perangkat hidup yang setara dengan peradaban Arab, Persia, Aria, Dongsun dan Tiongkok (mewujud antara lain dalam kendi, ceret, dandang - tembaga, cangkir, piring, tungku, balè, kays - kantung minum kulit kambing, golok, kampak, pisau) menunjukkan inti kreatif.

Setarikan nafas, dalam memahami kompleksitas nilai, keluar dari kecenderungan yang terlalu rasional dengan pemikiran yang rumit atau falsafati. Nilai-nilai kebajikan dan kebijakan hidup, misalnya, lebih banyak diperoleh melalui perilaku reflektif atas fenomena kehidupan yang berlaku. Sumbernya adalah keyakinan terhadap sesuatu di luar empirisma manusia (sejak berkembang keyakinan animistik, dinamistik, politeistik, sampai monoteistik).

Di permukaan kehidupan sehari-hari, tercermin, misalnya, dalam tradisi bebesan, nujuhbulan, tahlilan, ziarah, dan beragam ritus lain, dengan beragam perkakasnya (ancak, dupa, kemenyan, bako, pinang, dan lainnya). Skala keyakinan terhadap nilai di luar empirisma terentak dari yang paling sinkretik sampai yang paling hakiki. Pun demikian dalam praktik peribadatan, mulai dari yang paling maksiat (pedukunan) sampai yang paling ma'rifat (sech-sechan, tawassul, i'tikaf, sampai munajat).

Tradisi-tradisi itu kemudian melahirkan beragam aksi dan produk kreatif di berbagai produk budaya, mulai dari food (nasi kuning, nasi uduk, pesmol, pecak, gabus pucung, semur, sop, soto, sate, gado-gado, ketupat, dan lainnya), fashion (baju sadariah, kebaya encim, ujung serong, pangsi, songkok, kelom, selop, dan lainnya), face (bedak adem, gincu sirih, celak, dan sejenisnya).

Beranjak pada pandangan ini, dalam melihat nilai yang menjelma sebagai sikap budaya sebagai tradisi, benar yang dikatakan RICŒUR, perlu dipahami secara mendalam tentang perilaku masyarakat (dengan nilai tertentu) antar sesamanya dan orang (bangsa) lain. Khasnya dalam memadu padat inti kreatif produk budaya dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk korelasi nilai dengan perangkatnya dalam suatu tradisi.

Tidak semua yang datang dari luar lingkungan suatu masyarakat mampu berasimilasi kendati difasilitasi dengan egaliterianisma dalam hubungan budaya, tetapi karena konsepsi fundamental (terkait waktu, ruang, hubungan antara manusia) tidak memungkinkan terjadinya tukar menukar nilai apa pun pada kinerja, kesejahteraan, hingga kapitalisasi cara. Dengan kekuatan penuh dari preferensi dasar mereka (integritas), kaum dengan nilai tertentu menolak pengenalan cara-cara ini ke dalam cara hidup mereka.

Nilai-nilai Betawi yang terbuka berasimilasi (sehingga terbentuknya kaum Betawian dari berbagai etnis dan ras) dan berakulturasi (ondel-ondel, gambang keromong, tanjidor, keroncong, sadat, pantun, orkes (melayu dan gambus), lenong, topeng, cokek, kesah (hikayat), samrah (dan tarian lain), arsitektur, pun dalam kuliner. Tapi tegas menolak segala yang dilarang oleh agama dalam berkeyakinan.

Dalam konteks ini, 'menjadi Betawi' merupakan proses asasi dalam konteks pengembangan peradaban universal yang berssifat ilmiah dan teknis, termasuk dalam konteks merumuskan tuntunan adat istiadat dan resam budaya. Dengan begitu, nilai-nilai Betawi dapat melindungi ekspresi dan produk budaya tradisionalnya dari penetrasi dan erosi peradaban. Khasnya untuk mencegah degradasi nilai, sekaligus memperkuat kapasitas budaya sebagai cara mengelola kehidupan. Tak terkecuali dalam memperlukan sains dan teknologi, yang memungkinkan budaya Betawi tidak berada dalam kondisi sine qua non.

RICŒUR  menyatakan, "Hanya budaya yang mampu mengintegrasikan rasionalitas ilmiah yang dapat bertahan hidup dan dilahirkan kembali; hanya iman yang menarik bagi pemahaman kecerdasan yang dapat "mengawinkan" dimensi masa-nya." 

Di sini, agama memainkan peran strategis. Budaya Betawi dihidupkan oleh dimensi agama (akidah, syari'ah, muamalah dan akhlak). Pada budaya Betawi, pandangan RICŒUR tertampak nyata, ketika dia menyatakan, bahwa hanya iman yang mengintegrasikan desakralisasi alam dan menunda yang sakral.

Menjadi Betawi dengan sendirinya menjadi manusia religius yang seluruh aktivitas hidupnya (sosial, ekonomi, politik, dan seni) tak kan lari dari dimensi agama berbasis keimanan. Inilah yang akan memelihara dan menghadirkan eksistensi Betawi sebagai nilai dan Betawian sebagai etnis sepanjang masa. Karena, seperti kata RICŒUR,  hanya iman yang menghargai waktu dan perubahan, yang menempatkan manusia pada posisi penentu dalam menghadapi dunia, sejarah, dan kehidupannya, untuk mampu bertahan dan bertahan lama. Kendati manusia hidup dalam interregnum, meski tak sekadar mampir ngombè (dalam falsafah Jawa). Karena hidup adalah masa untuk berkarya dan berinovasi sesuai dengan dayacipta yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Menjadi Betawi di alaf baru adalah menjadi manusia yang kudu siap: berilmu amaliah, beramal ilmiah (intelektual, kreatif, inovatif, inventif, social servant, islami, bahagia, dan bertanggungjawab terhadap lingkungan) dalam pemahaman yang luas. Artinya, menjadi Betawi adalah berani melakukan perubahan minda (cara berfikir), sikap mental, dan karakter. |

 

Kebon Jeruk, 10.6.19

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 334
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya