Menyongsong Jakarta Melayu Festival 2019

Menanti Saat Merengkuh Keadilan Menggedor di Hari Proklamasi Kemerdekaan

| dilihat 1441

Sém Haésy

Telah lama keadilan  terhempas / Kemanusiaan luluh lantak

Jiwa jiwa merana diam membisu / di negeri penuh dusta

Kini kau hadir memberi makna / tentang manusia dan hak-hak nya //

Anak negeri nengadah harap / Keadilan hadir lewat berjuta doa

Kau hadir memenuhi harapan / Memberi makna tentang memimpin manusia//

Satunya kata dan perbuatan / Sungguh kau pemimpin / Berbinar kemuliaan//

Anak negeri merengkuh keadilan / Di pundakmu harapan dititipkan.//

Saya tercenung beberapa jenak menikmati lagu bertajuk Merengkuh Keadilan karya Geisz Chalifah dan Anwar Fauzi, yang disiapkan sebagai lagu pembuka konser Jakarta Melayu Festival (JMF) ke 9 - 2019, Sabtu - 17 Agustus 2019 mendatang.

Suara Tom Salmin yang khas, menghantarkan lagu itu, laiknya lagu luka. Luka begitu banyak kaum yang sekian lama terpinggirkan dan tersingkirkan, sekaligus mengalami tekanan persoalan yang berat untuk hidup layak sebagai manusia bermuruah di negerinya sendiri.

Lagu itu menggugah. Mengusik nasionalisme patriotik berdimensi global. Pesan yang disampaikan via lagu itu, bahkan mewakili kerinduan kaum tertindas atas hadirnya sosok pemimpin yang menempatkan perjuangan keadilan sebagai garda depan kepemimpinannya.

Kaum tertindas di Palestina, Uighur, Rohingya -- bila lagu ini diterjemahkan dalam bahasa mereka -- akan menemukan suara mereka di lagu ini. Aransemen musikal lagu ini digarap apik oleh Anwar Fauzi dan terasa sebagai resonansi khas.

Persis seperti resonansi batin saya ketika menyimak lagu Baladi yang disuarakan Faia Younan, yang meneriakkan penindasan yang terjadi di Syria, Irak, Gaza, dan berbagai belahan dunia lain.

Lagu ini, menjawab dengan mendeskripsikan kepemimpinan dan sosok pemimpin yang berkomitmen terhadap keadilan. Agak superlatif saya membayangkan  ketika lagu itu membuka konser JMF9 di Ancol, pas pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke 74 mendatang.

Pada malam jelang subuh tiba, ketika saya dengar lagi lagu artikulatif Melayu, ini dengan staccato rhytm, kental oleh synthetizer, drumb, piano, string dibalut backing vocal mengekspresikan suara batin, segera melintas jalan panjang perjuangan kaum Melayu dari garis panjang Raja Bukit Siguntang bernasab Sultan Zulkarnain yang pernah bertahta di Melaka.

Terbayang perlawanan para Sultan Melayu dengan spirit kebangsaan yang patriotik kala menghadapi penjajah Inggris dan Belanda sejak bercokol pada 1824. Ketika Johor - Riau - Lingga sebagai 'tanah air peradaban Melayu, yang terbentang di sepanjang jazirat al mulq - dari Melaka hingga Maluku.

Perlawanan memperjuangkan sekaligus mempertahankan kemerdekaan para Sultan, tak pernah usai, ketika bangsa Melayu di sepanjang katulistiwa - Nusantara, terampas keadilannya oleh persekongkolan para pendusta. Baik dari Barat maupun dari Utara.

Terbayang juga kiprah Raja Ali Haji - pencipta Gurindam XII yang mengarungi Selat Melaka dari Pulau Penyengat ke Sunda Kelapa sembari menebar syiar, sekaligus membawa kabar penolakan Kesultanan Melayu Lingga dari cengkeraman VOC di bawah kendali Jan Pieterz Zoon Coen di Batavia. Lantas merekam abadi silsilah Melayu dan Bugis dalam karya monumentalnya, Tuhfat al Nafis.

Dan.., Jakarta Melayu Festival 2019 di Ancol Beach City mengambil tema Merengkuh Keadilan. Tentu bukan kebetulan, karena apa yang berlaku di seluruh jazirah al mulq, awal abad ke 19 (mulai dari Kedah - Melaka - Aceh di bagian Barat,  sampai Gowa, Ternate dan Tidore di Maluku - bagian Timur, dan juga Sulu di Utara) dan Jayakarta yang kemudian berubah menjadi Batavia, itu kini seolah sedang mengulang sejarah.

Malaysia dan Indonesia di abad ke 21 kini sedang menghadapi persoalan yang sama: ajang pertarungan kuasa Tiongkok - Amerika. Kedua negara berbasis bahasa dan bangsa Melayu ini, seolah sedang dihempas 'angin utara,' 'badai barat,' dan 'gelombang selatan,' dan mencari sosok pemimpin yang sungguh layak dan patut. Pemimpin yang paham, kapal sedang melaju ke laut lepas dan berlayar malam.

Pemimpin yang mampu 'tegak di atas gelombang' situasi itu diperlukan, ketika reorientasi pertarungan kekuasaan dunia sedang bergeser dari Amerika - Eropa ke Asia Pasifik, antara lain lewat perang dagang, proxy war, dan berbagai hal lainnya. Pemimpin yang tahu cara mengatasi masalah rumit kala 'kapal dihempas gelombang,' dan menjaga agar kapal 'tak patah kemudi.'

Persoalan yang dihadapi tetap sama: keadilan!

Di pergelaran JMF2019 itu juga akan dihadirkan Tony Q Band yang akan mengekspresikan kolaborasi musik Melayu - Reggae yang berasal dari Afrika. Musik pesisir kaum tertindas Afrika di masanya. Kaum yang beroleh motivasi dari Gandhi yang berakar Hindi untuk merengkuh keadilan, memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan insani dengan pendekatan yang humanis: jalan budaya.

Dalam pandangan Gandhi, keadilan adalah sesuatu yang dirindukan manusia dan datang kepada secara alami. Namun, dinamika dunia senantiasa mewartakan, beragam tindakan melanggar, menyangkal dan merampas keadilan dari kehidupan individu dan masyarakat.

Reggae adalah ekspresi lain teriakan musikal kaum yang gigih merengkuh keadilan. Sesuatu yang niscaya.

Merengkuh keadilan adalah niscaya. Albert Einstein memberi isyarat, "Generasi yang akan datang, mungkin, akan kurang percaya, bahwa tanpa keadilan, manusia ibarat daging dan darah (dalam selongsong) yang berjalan di atas muka bumi."

Karena konsistensinya merengkuh keadilan, Gandhi memerdekakan dirinya dari kasta (posisi) dan memilih jalan egaliter untuk hadir sebagai manusia yang melayani.

Jauh masa sebelumnya, seorang insan mulia dipilih Allah Mahakreator, untuk mengubah law enforcement menjadi keadilan, estetika menjadi peradaban, dan cinta menjadi kemanusiaan. Beliau adalah pemimpin luar biasa yang melakukan transformasi dunia selama dua dasawarsa lebih, Rasulullah Muhammad SAW, yang menyempurnakan pesan ilahiah yang dibawa Musa alaihissalam, Daud alaihissalam, dan Isa alaihissalam.

Perjuangan dan kepemimpinan beliau mewarnai kehidupan para Sultan bangsa Melayu di Nusantara, untuk tak henti merengkuh keadilan, menempatkan manusia sebagai subyek kehidupan. Aksi panjang merengkuh keadilan itu jua yang ditebarkan HOS Tjokroaminoto kala menggerakkan nasionalisme dan patriotisme dengan aksi mempercepat zel bestuur atas Indonesia. Berkolaborasi dengan H. Agussalim aksi merengkuh keadilan tak terlepas dari manifestasi sikap sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan dan siasah dalam satu tarikan nafas.

Ini yang kemudian mengalir kepada para perintis kemerdekaan dan founding fathers, seperti Soekarno, Hatta, Natsir dan lain-lain dalam semangat ke-Indonesia-an yang terbuka, sehingga mampu bekerjasama mengelola bangsa bersama dengan Sjahrir, J. Kasimo, Samratulangie, Babe Palar, Alex Maramis, Anak Agung Gde Agung, dan lain-lain.

Saya menanti lagu pembuka itu beserta lagu-lagu Melayu dan Reggae yang mengekspresikan aksi merengkuh keadilan menggedor kesadaran nalar, naluri, rasa dan dria kita pada malam, ketika angin pantai utara Jakarta berembus. Tentu, sambil merasakan getirnya ketidak-adilan yang perlu disuarakan dengan cara artistik, estetik, dan etik..|

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 218
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 430
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 429
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 399
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya