Membaca Pesan dari Leluhur

| dilihat 2162

AKARPADINEWS.COM | ADA realitas paradoks dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Beragam nilai-nilai tradisi yang diwarisi para leluhur nyatanya hanya mengawang-awang di atas langit, tidak membumi dalam sikap dan perilaku keseharian sebagian penghuni di negara ini. Tak sedikit masyarakat terjebak dalam pusaran modernitas yang memangkas identitasnya sebagai bangsa yang sejatinya diwarisi nilai-nilai agung dari para leluhurnya.

Pada dasarnya, nenek moyang bangsa ini telah mewarisi beragam produk peradaban, yang tidak hanya estetis di hadapan mata. Namun, mahakarya yang mereka ciptakan menebar pesan-pesan moral kepada anak cucunya, mengajari tentang dimensi religis, filosofis, seni, etos kerja, semangat, kejujuran, dan sebagainya. Para leluhur juga mengajarkan akan pentingnya menjalani pola hidup yang selaras dengan alam guna kepentingan generasi saat ini dan yang akan datang.

Sayang, beragam nilai-nilai agung itu tidak dijadikan rujukan dalam kehidupan masyarakat saat ini. Bahkan, tak sedikit pula yang menganggap warisan para leluhur itu kuno, kolot, dan tidak lagi tepat untuk diadopsi di era modern saat ini. Akibatnya, generasi saat ini seakan kehilangan jati diri. Mereka tidak mengenal siapa dirinya dan dari mana asalnya. Mereka lebih gemar melakoni gaya hidup hedonis daripada diskusi tentang seni dan tradisi warisan leluhur. Belum lama ini, menjadi keprihatinan khalayak ketika akan ada pesta bikini setelah Ujian Nasional (UN) Sekolah Menengah Atas (SMA). Acara berbau hedonisme yang bertajuk Splash Party After Class Pool itu jelas melabrak tradisi dan budaya bangsa. Gencarnya penetrasi nilai-nilai luar dengan pesan-pesan modernitas lewat instrumen media komunikasi dan informasi global itu nyatanya terus menerus mereduksi eksistensi nilai tradisi yang diwarisi para leluhur.

Padahal, begitu banyak jejak teks tertulis dan lisan dari para leluhur yang berisi nilai-nilai untuk menuntun generasi saat ini dan akan datang, agar lebih bijak dalam menjalani kehidupan. Beberapa pesan dan peringatan tersebut di antaranya adalah Rumpaka Papatet Gancang atau tembang Sunda kuno.

Kawung mabur carulukna, Gula leungiteun ganduan.

Ciamis kari patina, Ciherang kantun kiruhna.

Samak tinggaleun pandanna. Kiai leungiteun aji, Pandita ilang komara.

Kaburuan ku nafsuna.

Dalam buku berjudul: Sangkala Padjajaran Upaya Awal Mengeja dan Menyingkap Makna Rumpaka karya H Setia Hidayat dan N Syamsuddin Ch Haesy, Rumpaka dimaknai sebagai sebuah peringatan terhadap keadaan yang memilukan. Di antaranya Kawung mabur carulukna (Enau kehilangan buahnya) yang diartikan generasi yang hilang (lost generations), generasi yang tidak lagi mengenal identitas diri, suku dan bangsanya. Lalu, Gula leungiteun ganduan (gula kehilangan cirinya), Ciamis kari patina (air manis tinggal pahitnya) dan Ciherang kantun kiruhna (air bening tinggal keruhnya),  menggambarkan kerusakan lingkungan, di mana hutan dibakar, gunung dikeruk, dan sungai dicemari oleh limbah dan sampah industri dan rumah tangga.

Selanjutnya, Samak tinggaleun pandanna (tikar ditinggalkan pandanna) seperti tikar yang menggunakan plastik merupakan simbol budaya rekayasa, meliputi seluruh aspek kehidupan, yang menempatkan kepalsuan hidup sebagai pesona yang mengagumkan. Contohnya, produk-produk kecantikan, operasi plastik, bahkan baru-baru ini beredar beras plastik.

Realitas kekinian itu akibat Kiai leungiteun aji, Pandita ilang komara. Kaburuan ku nafsuna. (Kyai kehilangan kemakbulannya. Pemimpin formal dan intelektual kehilangan wibawa. Terbakar oleh nafsunya). Pemimpin agama yang dahulu menjadi panutan, saat ini lebih memilih untuk menjadi populer, bukan untuk kemaslahatan umat. Fenomen ulama itu bisa dilihat di layar televisi. Tidak sedikit pemimpin bangsa ini yang menghilangkan wibawanya dengan terjerat kasus korupsi. Mereka mendewakan uang sebagai cara untuk memenangkan pertarungan politik di kala musim pemilihan umum.

Rumpaka juga memberi pesan dan peringatan terhadap hancurnya moralitas maupun peradaban sebuah bangsa yang perlu segera diantisipasi. Kondisi carut-marut ini pun bagi leluhur kita di masa lalu dan mungkin bagi sebagian orang di masa kini, menyebabkan frustasi dan memohon pada Tuhan untuk mendatangkan bencana, meletusnya gunung-gunung dan musnahnya kota dibandingkan hanya dipenuhi oleh kepalsuan yang membuat rakyat celaka seperti yang terdapat dalam larik Goyong.

Sakapeung mah bawaning ku pusing,

Sok neneda ka Anu Kawasa,

Gunung Gede jeung Pangrango, geuwat geura arurug

Dayeuh abdi basmi sing leungit,

Gegek ram age cumah, teu aneh teu lucu

Da pinuh ku tukang cidra,

Salamina tukang jalir tina jangji, sulaya tina subaya

(Kadang-kadang terlalu pusing. Ingin bermohon kepada Tuhan Maha Kuasa: Gunung Gede dan Pangrango cepat segera roboh. Kota (Kampung) dihancurkan hingga lenyap. Ramai pun percuma. Tak aneh dan tak lucu. Karena penuh oleh pencelaka. Selamanya ingkar janji. (selalu) mengelak dari kenyataan/kebenaran).

Rumpaka yang diisyaratkan Prabu Siliwangi saat kejayaan Kerajaan Padjajaran, kini lenyap. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah dikhianati dan tidak dilanjutkan oleh para penerusnya. Bisa jadi, Indonesia akan hancur, tidak sesuai cita-cita gemah ripah loh jinawi bila kondisi negaranya serupa dengan Rumpaka tersebut.  

Pesan dan peringatan leluhur ini menjadi penting sebagai refleksi masa lalu yang kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan saat ini. Setidaknya, pesan dan peringatan leluhur itu menjadi rujukan hidup manusia Indonesia saat ini agar selalu mawas diri dan menjalani kehidupan yang berbasis pada nilai-nilai kebaikan.  

Di sinilah pentingnya transformasi nilai-nilai dari para leluhur untuk mencegah perilaku manusia yang cenderung destruktif dan agresif. Pola hidup yang mengacu pada nilai itu akan mengarahkan manusia untuk mengembangkan interaksi antarmanusia, tanpa harus saling membinasakan. Laku hidup yang berbasis pada nilai, menempatkan pentingnya dimensi kemanusiaan sehingga menciptakan realitas kehidupan manusia yang saling memanusiakan, mensejahterakan, bukan justru menjadikan manusia laksana srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 246
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 341
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 528
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1622
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1401
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya