Memaknai Jawa dari Pintu Belakang

| dilihat 3342

AKARPADINEWS.COM | MANUSIA Jawa tidak saja dimaknai dari hasil produk budayanya. Manusia Jawa sejatinya memiliki "rasa" dan jati diri dalam laku hidupnya, baik saat berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan alam. Manusia Jawa juga merupakan entitas adikodrati atau entitas makrokosmos.

Dimensi sejatinya manusia Jawa itu yang hendak disampaikan Hanafi dalam pameran tunggalnya bertajuk: Pintu Belakang | Derau Jawa. Pameran yang diadakan di Galeri Nasional, Jakarta, dari tanggal 1-15 Maret 2016 itu menyuguhkan konsep yang menarik.

Untuk menikmati karya lukisan dan instalasi Hanafi, pengunjung diarahkan untuk tidak memasuki ruang pameran melalui pintu depan, melainkan melalui pintu belakang. Konsep pintu belakang dikembangkan Hanafi dari pengalamannya saat masih kecil. Hanafi senantiasa melewati pintu belakang jika ingin masuk ke rumahnya, termasuk bagi para tamu yang sudah akrab dengan keluarganya, tatkala bertandang ke rumahnya.

Itu dulu. Kini, berdasarkan pengamatannya, rumah yang dihuni orang Jawa, menghilangkan fungsi pintu belakang. Bagian belakang justru menjadi bagian rumah yang berantakan, diisi tumpukan barang atau dibiarkan kosong.

Bagi Hanafi, kondisi kekinian itu merupakan sebuah derau atau distorsi laku sosial masyarakat Jawa saat ini. Karena itu, dalam pameranya, Hanafi menampilkan karya-karyanya untuk menyuarakan derau-derau dalam rasa masyarakat Jawa di masa kini.

Pameran kali ini merupakan episode lanjutan Hanafi dalam "memperkarakan" Jawa. “Pameran ini tidak terpisahkan dari pameran Hanafi yang diadakan pada 15 April 2015 bertajuk Oksigen Jawa yang diadakan di Galeri Soemardja ITB, Bandung,” ujar Agung Hujatnikajennong, kurator karya Hanafi.

Perbedaannya, dalam pameran ini, menurut Agung, bukan hanya lahir dari ingatan-ingatan masa kecil Hanafi sebagai orang Jawa. Namun, Agung menjelaskan, pameran kali ini merupakan hasil dari pengamatannya terhadap manusia Jawa dan distorsi-distorsi, baik secara sosial maupun budaya atau tradisinya.

“Mas Hanafi, saat melakukan riset untuk pameran ini, ditemani Mas Afrizal Malna, menggagas ide tentang noise (derau) Jawa. Noise itu sendiri merupakan bunyi yang mengganggu telinga,” kata Agung.

Hal yang menarik, Agung menjelaskan, dalam pameran ini, Hanafi memetamorfosiskan Jawa sebagai bunyi. “Bila udara (oksigen) dihirup dengan ketidaksadaran, maka untuk mendapatkan bunyi, seseorang harus mendengarkan (dilakukan dengan kesadaran),” jelasnya.

Agung mengatakan, dalam menelurkan karyanya pada pameran ini, Hanafi melewati proses mendengar, mengamati, bukan hanya mengandalkan memorinya. “Proses mendengarkan itulah menunjukkan adanya antensi lebih Hanafi, dalam mempersoalkan Jawa di luar dari stereotipe-stereotipe Jawa yang sudah dikenal, seperti keris atau batik,” pungkasnya.

Ketika memasuki ruang pameran dari pintu belakang, pengunjung akan disapa oleh karya instalasi berbentuk lukisan empat panel bertajuk, “Badhe Tindak Pundi Nopo”. Pada keempat panel lukisan tersebut, terdapat gambar enthung.

Agung menjelaskan, enthung adalah ulat yang hampir memasuki fase kepompong semi sempurna. “Enthung itu semacam ulat yang hampir menjadi kempompong yang keras. Di ujungnya sudah mulai mengeras, namun di ujung lainnya masih lunak sehingga masih dapat bergerak-gerak.”

Seni instalasi tersebut terinspirasi dari riset Hanafi di Imogiri. Kala melakukan riset tersebut, enthung mengingatkan Hanafi akan masa kecilnya. Pada masa itu, masyarakat Jawa sering menggunakan enthung sebagai kompas atau penunjuk jalan.

Bila melihat karya tersebut, akan mengingatkan pada konsep sedulur papat lima pancer dalam budaya Jawa. Konsep itu memiliki makna keselarasan hidup seorang manusia Jawa agar tidak tersesat dalam menjalani kehidupan. Posisi enthung sebagai patokan arah mata angin, bisa dinilai sebagai simbolisasi pancer atau pijakan untuk melangkah, memilih jalan kehidupan.

Semakin masuk ke ruang pameran, pandangan pengunjung akan digoda karya instalasi berbentuk deretan 60 buah kenong dengan logo Bayern yang di permukaannya berjudul, “Sakit Kepala---Masuk Angin”. Kenong merupakan salah satu instrumen musik dalam gamelan Jawa.

Karya instalasi tersebut merupakan refleksi kegamangan Hanafi melihat kemajuan teknologi pengobatan, yang perlahan-lahan menggerus tradisi pengobatan tradisional dan konsumsi jamu untuk mengatasi sakit. Logo Bayern, produsen obat, yang menyembul dalam karya instalasi itu merupakan representasi teknologi pengobatan modern.

Padahal, jamu merupakan pengobatan Jawa yang sudah ada sejak lama. Kini, ketika tubuh merasakan sakit, tanpa pikir panjang, seseorang akan langsung menenggak pil obat yang mengandung zat kimia.

Kenong alumunium dengan logo Bayern tersebut merepresentasikan tersingkirnya tradisi jamu akibat penetrasi obat-obat modern, yang juga berdampak mendistorsi tradisi Jawa.

Terletak di tengah ruangan yang sama, terdapat karya instalasi bertajuk: “Demografi dalam Bakiak”. Karya instalasi berbentuk piramida buntung, prototipe bangunan makam arsitek makam-makam Jawa Imogiri, dengan deretan 150 bakiak yang dibuat seakan-akan berlomba menuju puncaknya. Dalam setiap bakiak tersebut, tertuliskan nama-nama Jawa di bagian pijakannya.

Hanafi menjelaskan, ide penciptaan karya instalasi bakiaknya terinspirasi dari kebiasaan ayahnya yang sering menggunakan bakiak untuk menuju langgar atau musholah saat ingin beribadah. “Karya ini dibuat untuk mengenang ayah yang sering mengenakan bakiak untuk menuju langgar. Dia menggunakan ini agar sarung yang dikenakannya tidak terkotori tanah yang dia lalui melalui jalan setapak menuju langgar,” ungkap seniman kelahiran 5 Juli 1960 tersebut.

Karya instalasi bakiaknya ini merupakan representasi pandangan Hanafi terhadap terjadinya derauan identitas Jawa yang terjadi dalam demografi Jawa, baik itu disebabkan migrasi ataupun perkawinan silang pada masa kerajaan Jawa. Hal yang menarik dalam karya instalasi tersebut, pada bakiak yang dipasang paling atas terdapat tulisan muji harta.

Soal peletakan urutan bakiak, Hanafi mengatakan, keseluruhannya dilakukan secara intuisi. Karenanya, peletakan muji harta di bagian atas menjadi refleksi pandangan Hanafi terhadap derauan identitas manusia Jawa yang kini kerap mengejar harta dalam hidupnya.

Pada ruangan lainnya, terdapat karya instalasi Hanafi berbentuk deretan helm tentara dengan tumpukan helm tentara dalam sebuah wadah, Hanafi, yang pernah mendapat Anugerah Kebudayaan Universitas Indonesia, menyebutnya sebagai tempayan besar. Karya instalasi itu diberi nama “Eror + Noise” oleh Hanafi.

Karya instalasi yang menggunakan total 389 replika helm tentara tersebut merupakan pandangan Hanafi terkait terjadinya derauan dalam sejarah bangsa Indonesia. Melalui karyanya ini, Hanafi mengajak untuk melihat kembali sejarah, khususnya generasi muda, sebagai salah satu pembelajaran bangsa.

Untuk sampai ke masa reformasi saat ini, bangsa Indonesia telah melewati beberapa peristiwa bersejarah yang disertai tragedi berdarah, seperti “pemberontakan Banten” tahun 1883, pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1926, Revolusi Tiga Kota (Tegal, Pekalongan, dan Brebes) setelah kemerdekaan, peristiwa Madiun 1948, dan Tragedi 1965. Untuk peristiwa Madiun 1948 dan Tragedi 1965, dari kacamata demografi Jawa, merupakan peristiwa yang mengalami derauan dalam sejarah Indonesia. Bila melihat karya instalasi itu, ada nuansa kekhidmatan dan renungan mendalam atas berbagai peristiwa serta tragedi yang telah dilalui bangsa Indonesia.

Di ruang kecil di sudut galeri, Hanafi memajang karya instalasinya berjudul “Pintu Masuk Tanpa Ontologis”. Pada karya ini terdapat beberapa elemen yang menjadi bagian di dalamnya, yakni, blankon, konde, mesin jahit tradisional, video, meja makan dan empat kursinya, rak buku, dan tirai yang terpasang di pintu masuk ruangannya.

Masing-masing elemen itu menyembulkan makna kehidupan manusia Jawa yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan pergerakan peradaban. Namun, di sisi lain, melalui narasinya, Hanafi melihat manusia Jawa tidak terlepas dari unsur-unsur ontologis yang melingkupinya. Dapat dikatakan, “Pintu Masuk Tanpa Ontologis” memberikan pemahaman bahwa manusia Jawa memiliki rasa yang kuat akan keyakinan adanya entitas lain selain manusia yang bersinergi dalam alam.

Di seberang ruangan instalasi “Pintu Masuk Tanpa Ontologis” terdapat salah satu karya Hanafi paling menarik. Karya itu berjudul “Tak Lelo Lelo Ledung”. Karya ini terdiri dari delapan panel lukisan yang menjadi satu kesatuan, ranjang besi, ikan asin, dan lagu Jawa tak lelo lelo ledung.

Kala memandang karya ini, akan muncul nuansa keprihatinan atas keselarasan manusia dengan alam. Lukisan delapan panel yang terpampang memberikan imaji panoramik kegelisahan Hanafi terkait rusaknya bumi oleh manusia. Penempatan ikan asin di atas ranjang mempertegas imaji kerusakan alam itu sehingga memunculkan imaji yang nyata. Dan, Hanafi seakan membagikan keprihatinannya terkait kerusakan alam.

Kehadiran lagu tak lelo lelo ledung ciptaan Markasan pada karya Hanafi itu menambah kesan yang ingin disampaikan sang seniman. Lagu yang biasa didendangkan seorang ibu Jawa untuk menenangkan anaknya yang menangis itu seakan menyuarakan suara alam yang tidak melawan atas aksi pengrusakan yang dilakukan manusia.

Karena, manusia Jawa kerap menyimbolkan bumi sebagai ibu kehidupan. Melalui pembingkaian lagu tersebut, karya itu seakan berbicara bumi tidak marah dengan ulah manusia melakukan pengerusakan alam, namun ada keinginan bumi agar manusia dapat berbuat sesuatu untuk kembali memelihara dan berselaras dengan alam.

Karya Hanafi lainnya yang tak kalah menarik ialah “Ajisaka: Melihat Ke Bawah”. Karya instalasi ini terdiri dari tiga bagian, yakni patung manusia dengan posisi terbalik dari plat besi, sekumpulan replika sarung yang terbuat dari  plat besi, dan lukisan sembilan panel. Karya instalasi ini terinspirasi kala Hanafi melakukan perjalanan ke Tengger, Jawa Timur.

Agung menjelaskan, karya instalasi ini merupakan hasil pengamatan Hanafi atas mitos Ajisaka yang dipercayai oleh masyarakat Tengger sebagai manusia Tengger pertama. Menariknya, menurut Agung, mitos Ajisaka yang berkembang di masyarakat Tengger memiliki unsur Islam, sedangkan masyarakat lokal, mayoritas beragama Hindu Mahayana.

“Cerita Ajisaka sebagai orang pertama di Tengger memiliki unsur Islam di dalamnya. Dikisahkan, Ajisaka ini seorang yang sangat pintar, seorang cendekia, pergi ke Mekkah. Lalu, dia diutus oleh Nabi untuk ke Tengger. Jadi, saya rasa ada kaitan antara unsur cerita masyarakat Tengger ini dengan Islam. Padahal kita tahu, kepercayaan orang di situ masih percaya dengan sajen dan sebagainya,” ujar Agung.

Hal itu, menurut Agung, kemudian menjadi pemikiran adanya derauan dalam mitos Ajisaka. Apakah mitos tersebut mendapat pengaruh unsur Islam atau memang sebaliknya sehingga dapat dikatakan merupakan sebuah derauan.

Di bagian akhir rute pameran, terdapat karya instalasi berbentuk replika dapur dalam rumah Jawa tradisional. Karya itu diberi nama oleh Hanafi “Nomor Rumah Tidak Ada di Belakang”. Sesuai dengan tema pameran ini, Hanafi menyulap bagian depan gedung A Galeri Nasional menjadi bagian belakang rumah Jawa.

Karya ini menjadi esensi terpenting dalam pameran yang diadakan hingga 15 Maret 2016 ini. Melalui karya instalasi ini, Hanafi sepertinya ingin membagikan nuansa keintiman dan keakraban yang terjalin dalam pola sosial manusia Jawa yang tercipta dari berbagai interaksi informal antar sesama. Selain itu, pada karya ini terdapat sebuah sumur yang dibuat Hanafi menjulang ke atas, terbalik dari sumur pada lumrahnya.

Pembuatan sumur tersebut terinspirasi dari curahan hati penggali sumur yang sulit menemukan air. Saat mendengar itu, Hanafi mengatakan pada penggali sumur, untuk membuat sumur ke atas karena sumber air ada di atas untuk meminta kepada Tuhan.

“Kalau menggali ke dalam tanah tidak ketemu (sumber air), mungkin harus membuat sumur ke atas. Meminta kepada-Nya yang di atas,” ujar seniman yang memenangi Indofood Art Award pada tahun 2002 dan 2003 tersebut. Bagian sumur tersebut juga menjadi penanda kaitan hubungan manusia, sebagai bagian dari mikrokosmos, dengan Tuhannya, yang merupakan makrokosmos.

Pameran Pintu Belakang|Derau Jawa ini bukan sekedar untuk memahami tentang Jawa. Namun, pameran tersebut memahami tentang nilai-nilai Jawa. Tiap karya instalasi yang dipajang dalam pameran menjadi fragmen-fragmen untuk melihat bagaimana manusia Jawa menerapkan sebuah keyakinan yang disebut dengan “rasa”.

Untuk menjadi manusia Jawa seutuhnya, maka diperlukan “rasa” yang mengajarkan manusia Jawa untuk hidup berselaras dengan alam dan memaknai hakikat kaitan hidupnya dengan entitas makrokosmos.

Agar dapat merasakan “rasa” Jawa itu, cara Hanafi memang tepat, yakni membuat pengunjung yang memaknai karyanya dengan menggunakan seluruh panca indera dan hati. Pameran Hanafi mengajak pengunjung memasuki pintu belakang untuk memahami laku hidup manusia Jawa sejatinya. Pameran ini juga merupakan eksplorasi Hanafi sebagai seorang manusia Jawa seutuhnya.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang