Makna di Balik Tradisi Satu Suro

| dilihat 4869

AKARPADINEWS.COM | Sebagai bangsa majemuk, Indonesia memiliki kekayaan budaya hasil akulturasi berbagai unsur budaya yang datang, sejalan dengan perkembangan zaman. Perpaduan unsur budaya tersebut menghasilkan tradisi yang disesuaikan dengan pola kehidupan masyarakatnya. Salah satunya, tradisi malam Satu Suro (Suroan) yang bertepatan dengan tahun baru Islam (tahun baru Hijriah) pada 1 Muharram setiap tahunnya.

Muharram adalah tanggal pertama dalam penanggalan Islam. Muharram bermakna “diharamkan” atau “dipantang” yang artinya pada bulan ini, umat Islam dilarang melakukan peperangan atau pertumpahan darah. Masuknya Islam di tanah air, membuat tradisi perayaan tahun baru 1 Muharram diadopsi dalam bentuk tradisi lokal.

Adalah Sultan Agung, raja terbesar Mataram Islam, berkuasa pada tahun 1613-1645, yang menetapkan peringatan Satu Suro, dimulai dengan penanggalan 1 Muharram. Tradisi Malam Satu Suro itu digelar untuk menyambut tahun baru Islam, walaupun di Arab Saudi sendiri, tidak ada upacara tertentu untuk menyambut tahun baru Islam.

Karena telah tercampur budaya lokal (Jawa), perayaan malam Satu Suro juga kerap dilaksanakan di beberapa daerah, dengan berbagai jenis tradisi dan ritual khusus. Tradisi ini sering diadakan di Jawa dan Madura, terutama di tempat peninggalan kekuasaan Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung, minus Jakarta, Banten, dan Banyuwangi (Blambangan).

Tradisi itu dilakukan secara terus menerus, melekat, dan mendarah daging pada masyarakat. Pasalnya, Satu Suro dipandang sebagai hari sakral, yang bagi sebagian masyarakat adalah waktunya “ngalap berkah”. Pada malam Satu Suro, biasanya orang melakukan laku prihatin. Berbagai tradisi unik sering dilakukan pada perayaan pergantian tahun ini.

Pada tradisi Jawa, momen ini sering dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan religi, seperti puasa berbicara, tidak meninggalkan rumah, mengisi waktu dengan ibadah, dan menjadi saat yang tepat untuk merefleksi diri. Selain di rumah, kegiatan menyepi atau bersemedi juga kerap dilakukan di beberapa tempat sakral seperti di gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.

Satu Suro adalah tahun baru menurut kalender Jawa. Berbeda dengan perayaan tahun baru kalender Masehi yang setiap tanggal 1 Januari dirayakan dengan nuansa pesta, orang Jawa tradisional lebih menghayati spritualnya.

Beberapa orang  mengisi Satu Suro dengan kegiatan kungkum atau berendam di sungai besar, sendang, atau sumber mata air. Tradisi ini masih kerap dijumpai di Yogyakarta. Beberapa kegiatan lain yang juga kerap dijumpai dalam perayaan malam Satu Suro adalah tirakatan atau lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit. Tradisi Satu Suro juga kerap digunakan untuk ritual ruwatan atau tradisi pengusiran sial.

Dalam kajian antropologi dan sosiologi, terkandung beberapa nilai dalam pelaksanaan tradisi Suroan yaitu nilai agama, sejarah, dan sosial. Dalam konteks agama, Suroan merupakan kegiatan berdoa bersama, dengan maksud sebagai ucapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Karenanya, rangkaian kegiatan diwarnai pengucapan doa-doa kepada Tuhan. Masyarakat melakukannya secara khusyuk, ikhlas, rendah hati, dan penuh keyakinan bahwa doanya akan dikabulkan. Mereka memanjatkan doa memohon keselamatan agar dirinya, masyarakat dan desanya, selalu diberi keselamatan.

Dalam konteks relasi sosial, Satu Suro dapat mempererat tali persaudaraan. Menurut Djihan Nisa Arini Hidayah, dalam jurnal, Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Malam Satu Suro, dalam kegiatan Satu Suro, masyarakat berkumpul bersama dalam beberapa pertemuan seperti pada saat kenduri dan saat pertunjukan wayang kulit. Mereka bertemu dalam suasana rukun, damai, gembira, dan guyub satu sama lain. Mereka bersatu padu menjalin persahabatan yang prinsipnya masing-masing individu akan saling menghormati sesamanya, saling kenal mengenal, berkembangnya sikap cinta kasih, yang pada gilirannya merajut tali persaudaraan yang biasa disebut Ukhuwah Islamiyah.

Pertunjukan wayang kulit yang disertai bunyi gamelan, gending-gendingnya, maupun suara sinden dan ceritanya yang menarik yang dipentaskan pada peringatan Satu Suro menjadi media seni yang menghiburkan.

Pementasan wayang itu mengandung nilai, moral, dan panutan dalam berperilaku yang dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat. Muatan pendidikan disampaikan oleh dalang melalui watak wayang dalam suatu cerita yang diperankannya. Muatan tersebut secara garis besar ada dua, yaitu watak baik dan watak buruk sehingga penonton dapat mengambil hikmah dari sajian ceritanya.

Wayang kulit merupakan kebudayaan yang menstrasformasikan nilai-nilai positif dan warisan budaya yang adiluhung. Dan, suroan turut andil dalam melestarikan wayang kulit sebagai warisan budaya. Di sisi lain, kegiatan suroan juga memberikan penghasilan bagi masyarakat. Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berjualan di sekitar tempat pertujukan wayang kulit.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, tradisi suroan yang beraroma animisme dan dinamisme, tetap terjaga, tidak tergeser oleh budaya modern. Satu Suro perlu dipertahankan karena bermuatan tradisi lokal, bercorak spiritualitas, mengandung dimensi sosial maupun ekonomi. Tradisi itu juga menjadi bagian dari transformasi nilai-nilai budaya lokal. 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 236
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 459
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 450
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 419
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 518
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1606
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1391
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya