Bang Sém
tilik harga berharap rabat
cara dulu belanjakan uang
bila tuan hendak berdebat
akal budi jangan dibuang
BERDEBAT untuk menunjukkan dan menegaskan suatu kebenaran, adalah niscaya. Setiap orang boleh berselisih, tanpa harus bertikai.
Adab ini yang diajarkan mendiang orang tua saya. Mereka tak hanya memberi nasihat, tapi memberi contoh, bagaimana menyikapi perdebatan, baik dalam skal domestik di dalam keluarga, sosial maupun khalayak.
Perdebatan yang dikelola dengan adab. Termasuk bagaimana mengendalikan diri dalam perdebatan, antara lain tidak memotong pembicaraan lawan atau mitra debat, sebelum argumentasinya selesai disampaikan.
Bahkan, ketika mereka berdebat dalam sesuatu hal, dan masing-masing mempertahankan keyakinan kebenarannya, mereka bersepakat untuk tetap berbeda pandangan.
Sering saya mendengar, keduanya menyatakan, "Ini hal yang saya yakini benar, kita memang berbeda sikap. Saya hormati sikap dan pendapatmu." Ada standar etik: menghormati pendapat atau pemikiran orang lain, meski kita tidak sependapat.
Sebagai muslim, standar etik yang diajarkan orang tua adalah, "bil hikmah wal mauidzah hasanah," yang merupakan bagian dari Al Qur'an, Surah An Nahl ayat 125.
Ayat, itu sesungguhnya, memandu Rasulullah Muhammad SAW menyampaikan seruan tentang ketaatan kepada Allah, melalui jalan islami sebagai suatu cara hidup (way of life).
Bil hikmah, dengan kearifan (kecerdasan dan kebijaksanaan), yang sering dipahamkan oleh berbagai kalangan ulama sebagai wahyu Ilahi. Wal mauidzah hasanah, dengan cara (terutama, bahasa yang baik), yang oleh sejumlah ulama, dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang cukup dan mendalam.
Secara praktis, saya memahami perdebatan dalam wilayah 'selisih paham atau silang pendapat,' bertumpu pada cara dan bukan alasan. Dalam konteks itu, masing-masing pihak yang berdebat, wajib saling menyimak argumen dan pendapat lawan atau mitra debatnya.
Memotong pembicaraan lawan atau mitra debat yang belum selesai mengemukakan substansi kebenaran yang diyakini adalah aib, dan menunjukkan ketidak-mampuan seseorang dalam melakukan silang atau selisih pendapat.
Suatu kali, saat remaja, saya diajak ayah menghadiri sesi perdebatan dengan kalangan sekte yang oleh sebagian terbesar ulama dinilai sesat, karena keluar dari prinsip-prinsip dasar Islam.
Saya menikmati perdebatan para tokoh yang berbeda sikap, pandangan, dan keyakinan, itu. Perdebatan substansial yang amat mendalam, jelas hitam dan putihnya. Namun tetap dalam suasana yang kondusif. Masing-masing pendebat mengemukakan argumen berbasis keilmuan mereka yang mendalam.
Tak ada kalah menang, dan para penyaksi perdebatan itu, pulang dengan penilaian masing-masing.
Sejak belia, saya beroleh beragam informasi ihwal perdebatan para tokoh masa itu, termasuk perdebatan antara Mohammad Natsir dengan DN Aidit di parlemen. Pun perdebatan perdebatan literatif atau polemik. Misalnya, antara Bung Karno dengan A. Hassan, atau Polemik Kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane dan kawan-kawan.
Orang tua memberi hadiah kepada saya, buku Polemik Kebudayaan, yang dihimpun Achadiat K. Miharja, diterbitkan Pepustakaan Perguruan Kementerian PP dan K, dan Balai Pustaka (1954). Suatu polemik yang, bagi saya, merupakan tonggak penting sejarah peradaban bangsa ini.
Dalam perdebatan politik, berisi perselisihan ideologi, seringkali argumentasi tertantang untuk mengatasi ketidak-mampuan berkomunikasi, seperti ungkap Gregory Corroyer (Les discordes idéologiques dans le débat politique, 2011).
Di masa lalu, perdebatan politik masih dalam kerangka kebudayaan, yang cenderung berada dalam wilayah selisih pendapat. Bedanya dengan debat di bidang lain dalam kebudayaan, debat politik adalah ancaman perselisihan.
Debat politik, seperti pendapat J.F. Lyotard, dalam Le différend (1983), mempertaruhkan wacana yang memang membentuk perbedaan (termasuk perbedaan diametral), dari perang sipil (dalam bentuk bahasa) yang akan selalu berulang. Saya memahaminya sebagai debat yang memang secara sengaja dikondisikan, tidak akan selesai dengan tuntas.
Orientasinya kalah - menang, bukan mengemukakan argumen untuk mencapai kebenaran. Sungguh 'perang sipil' di ladang bahasa. Sejak hampir satu dekade terakhir, saya nyaris tak lagi bisa menyimak 'debat politik' yang digelar media televisi atau media dengan platform lain, yang cenderung menyeret khalayak ke dalam proses penghancuran nalar. Terutama, karena media hanya mengacu pada polarisasi pro - kontra, tanpa kategori dan kriteria yang jelas.
Penghancuran nalar publik itu sendiri sudah diungkap secara luas oleh pemikir Jerman, George Lukacs (1962) -- terjemahan Inggris, The Destruction of Reason, Peter Palmer, 1980 -- ketika filsafat sebagai kejernihan dalam melihat, mendekati, memahami, dan menemukan solusi atas berbagai persoalan politik praktis dianggap sebagai suatu kerumitan.
Penghancuran nalar adalah gejala yang berkembang pada periode imperialis, yang selalu berulang-ulang dari masa ke masa, melalui perdebatan-perdebatan elementer. Mengemuka pada era Ramses II (Fir'aun) ketika menghadapi Musa alaihissalam.
Isa alaihissalam harus berhadapan dengan Sanherdin - imam besar dan penatua Yahudi, yang memandang ujaran-ujarannya sebagai hujatan dan mengambil keputusan untuk mem bunuhnya. Pontius Pilatus di Yudea, meski tak menemukan kesalahan Isa, tak berkutik dengan arus penghancuran nalar yang dilakukan Sanherdin dan para imam Yahudi.
Muhammad Rasulullah mesti berhadapan dengan Abu Jahal, Abu Lahab, dan para pembesar Quraisy yang mengalami penghancuran nalar dan mengambil jalan pintas, memerangi dan berusaha membunuh Rasulullah, karena tak mempunyai daya argumentasi yang cukup menolak kebenaran.
Perdebatan-perdebatan tanpa akal budi yang berlangsung berulang-ulang antara kaum intelektual dan kaum yang merasa dirinya intelektual, mempertontonkan ketimpangan yang lantas menghancurkan nalar khalayak. Mengubah debat menjadi 'sentak sengor,' lalu berbuah 'perang saudara' yang tak terhindarkan.
Narasi dan diksi tak terkendali karena terbatasnya nalar saat berargumentasi dalam perdebatan, menjadi virus kebencian yang tak serta-merta bisa ditawar oleh 'permohonan ma'af' sebagai suatu bentuk memetik, ketika kepandiran dalam ruang perdebatan membuncahkan narasi dan diksi yang menyudutkan kelompok masyarakat.
Terutama, ketika format debat tidak dirancang matang dan tak terekendali ketika dilaksanakan. Terutama, ketika format debat hanya menyediakan 'ruang' menampung serangan dan pembelaan melalui berbagai pernyataan yang mengandaikan keadaan yang digambarkan positif atau negatif bagi masyarakat.
Tapi, menurut Dominicy, 2001), pada kualifikasi aksiologis ini, logika (ilokusi, informal atau deontik) tidak banyak berfungsi, terutama jika nilai-nilainya direduksi menjadi ekspresi keinginan pembicara. Retorika, di sisi lain, membedakan tempat-tempat yang dianggap umum dari yang diinginkan, menurut genre deliberative (dalam konteks manfaat), yudisial (dalam konteks hukum), dan epidictik ( dalam konteks keagungan spiritual); tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, yang dapat dihargai sesuai dengan nilai yang berbeda yang dianut beragam khalayak.
Perdebatan yang terbiarkan menjadi pragma dialektika cenderung meremehkan dampak perpecahan khalayak, hanya karena mendalilkan homologi dalam kerangka kerja semantik yang bersatu: mengusulkan dan menentang. Padahal, seharusnya mengambil sikap untuk mendukung atau menentang tesis yang sama, sehingga khalayak dapat memahami 'masalah' tanpa kesulitan interprstasi, dan mampu melihat jernih 'solusi' (Eemeren dan Houtlosser, 2004).
Menurut Corroyer, seringkali dalam debat politik, pertikaian terjadi sebagai mode normal manifestasi konflikual makna, gagasan, dan nilai-nilai yang dipertanyakan oleh argumen politik. Para juru bicara politik -- dengan keterbatasan ilmunya -- bersikap, tidak perlu mengutuk pertikaian, dan tak perlu membatasi perbedaan hanya dalam konteks 'selisih pendapat,' yang merupakan panggilan komunikasi ke dalam dialog.
Jika semua pembicaraan penting sampai taraf tertentu dianggap dapat dikomunikasikan (meski keliru), apa yang diumbar para debator dengan 'bagasi cekak' tidak dipandang sebagai omong kosong.
Kendati demikian, sering diakui, pertikaian dalam 'debat ampang' -- perdebatan tak berisi -- disimulasikan pertikaian wacana antara yang bertahan dan menyerang dalam versi yang mereka berikan. Kerap pula diakui, bahwa kesalahpahaman itu tidak subur dalam penafsiran bersama atau persoalan yang dipertanyakan.
Dan tentu saja, menurut Potte Bonneville (1992), perdebatan akhirnya mengacu pada kecenderungan monologis. Meskipun, ketidakmungkinan berlaku dialogis atas konflik, sering diasumsikan, termotivasi oleh distribusi pertanyaan cair, yang seharusnya dikristalisasi.
Mereka yang memposisikan diri sebagai juru bicara yang berjuang menonjolkan pembenaran (dan mengabaikan kebenaran), menurut Corroyer (2006), menganggap, bahwa perdebatan "salah," juga merupakan pertarungan "benar": intinya, sesuatu yang penting dilakukan, baik terhadap gagasan naif tentang pertikaian yang diperdengarkan, maupun terhadap pemalsuan dari belahan dada, yang selalu mencurigakan khalayak.
Kita tidak memerlukan mereka yang hanya memanfaatkan ajang debat untuk menutup kebenaran. Kelola perdebatan dengan cara terbaik, memformulasi lebih awal kategori debat dan kriteria kepatutan - kelayakan sebagai pendebat. |