Peluncuran Buku "Kebaya Melintasi Masa"

Kebaya Sang Juwita Melintas Batas Mancanegara

| dilihat 799

Rabu, 21 April 2021, Penerbit Pustaka Obor Indonesia meluncurkan Buku Kebaya Melintasi Masa pumpunan 28 penulis perempuan yang dikoordinasi dan disunting oleh Soesi Sastro, secara virtual.

Tak hanya kaum perempuan yang berpartisipasi dalam acara yang menghadirkan pembicara Endang Caturwati, Guru Besar Seni Pertunjukan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung, pelaku 'industri' kebaya Asri Welas yang juga artis sinetron, Lana T Koentjoro Ketua DPP Perempuan Indonesia Maju, dan N. Syamsuddin Ch. Haesy (biasa dipanggil Bang Sem) budayawan.

Sebagai partisipan juga 'hadir' Udayana Halim - pendiri Banteng Heritage Museum Tangerang dari tempat mukimnya di Perth Australia. Pun Hendrawan Nadesul, dokter yang penyair.

Ketua Yayasan Obor Indonesi,a Kartini Nurdin mengapresi Soesi Sastro yang selama ini dikenal sebagai salah satu penyair perempuan Indonesia yang menerbitkan buku hasil karyanya bersama perempuan lainnya, di tengah pandemi Covid-19.

Menurut Kartini Nurdin, “Kebaya Melintasi Masa yang ditulis oleh 28 Penulis perempuan dari berbagai latar belakang tentang kebaya menggambarkan betapa kayanya budaya kita, dan dengan terbitnya buku ini tentu akan menambah khazanah perbukuan di Indonesia khususnya mengenai kebaya dan budaya berkebaya dari masa ke masa."

Terbitnya buku ini, ungkap Kartini, diharapkan bisa mendorong kajian dan penelitian dan pengamatan mengenai budaya kita, khususnya mengenai eksistensi kebaya serta  perempuan di Indonesia.

Menurut Endang Caturwati, buku Kebaya Melintasi Masa yang ditulis oleh 28 penulis, ini merupakan catatan sejaran yang ditulis oleh pelakunya sendiri. Tentu tidak mudah, karena di dalamnya mencerminkan keragaman ekspresi dan empirisma orang tentang kebaya.

"Buku ini kumpulan tulisan ringan untuk suatu pemikiran yang menyimpan banyak makna tentang kebaya. Kelak di suatu masa, buku ini akan menjadi salah satu rujukan tentang proses perkembangan kebaya di Indonesia," ungkap guru besar yang juga koreografer dan penari, Ketua Umum Citra Srikandi Indonesia dan Ketua Yayasan Hapsari Indonesia.

Di sisi lain, Endang melihat, buku ini sekaligus memberi kiat berkebaya. Endang menghargai sekali buku yang sekaligus menunjukkan kesungguhan kaum perempuan menulis, melakukan aksi intelektualitas di masa pandemi.

" Yang menarik adalah, buku ini hasil dari belajar menulis para perempuan pecinta kebaya dalam sebuah kelas belajar menulis di saat pandemi, jadi menurut saya Soesi Sastro ini ‘provokator’ kreatif mendorong kawan-kawannya untuk menulis sesuatu yang dekat dengan penulisnya,” jelas Endang Caturwati lagi.

Endang yang sehari-hari kerap berkebaya, itu juga bicara tentang proses pelestarian dan pengembangan kebaya sebagai salah satu identitas perempuan Indonesia.

Di penghujung pemaparan pandangannya, Endang dari kediamannya di Bandung, spontan mendendangkan lagu karyanya bertajuk Juwita yang mencerminkan citra perempuan Indonesia sebagai manusia subyek, yang mempunyai ekuitas dan ekualitas di tengah seluruh proses kehidupan.

Sebelumnya, Bang Sem, mengungkapkan kebaya mesti dilihat tak hanya sebagai seni busana, melainkan ekspresi budaya dimensional yang di di dalamnya terdapat paduan harmoni artistika, estetika dan etika. Karenanya, kebaya menjadi salah satu pembeda ekspresi budaya perempuan Indonesia di tengah kehidupan mondial. Di Betawi, 'kebaya' bahkan menjadi salah satu konsep artsitektur rumah Betawi yang dikenal dengan rumah Kebaya atau bapang.

Sebagai medium ekspresi budaya, menurut Bang Sem, kebaya Indonesia khas dan sangat menonjol. Dia mengungkapkan, 'karib' dengan kebaya, karena almarhumah ibunya yang selalu berkebaya, sering melibatkan anak-anaknya (tanpa membedakan gender) untuk mengenali seni budaya yang selalu dikenakannya. Termasuk soal kain Batik dan cara mewiru.

Pada bagian lain pandangannya, Bang Sem mengemukakan, buku Kebaya Melintasi Masa, ini menarik dimiliki dan dibaca, karena menghadirkan keragaman sudut pandang dan cara pandang (perspektif) dan rasa batin penulisnya. Dalam konteks rasa, sebagai penulis dan pembaca buku, dia menemukan 'keragaman rasa' yang tersaji dalam keseluruhan tulisan.

"Saya menduga ada tulisan yang proses menuliskan dilakukan dengan tangan, seperti kebaya hand made,  walaupun kemudian dituliskan ulang dengan mesin (komputer)," ungkapnya.

Karena itu, Bang Sem membayangkan ketelatenan dan kesabaran penyunting, merampungkannya dalam sebuah buku.

"Apalagi tulisannya dari berbagai tinjauan, seperti kebaya dan wisata, gaya hidup, psikologi, seni, milenial dan lainnya. aspek kerjasama, bahu membahu dengan berbagai pihak yang terkait.," ungkapnya.

Sedangkan Asri Welas berpendapat bahwa dengan banyaknya perempuan berkebaya sehari-hari maka ini akan membantu para UKM karena bahan kebaya pasti banyak dicari orang dan secara ekonomi akan bangkit.

Kebaya sebagai salah satu busana Nasional akhir-akhir ini menggeliat kembali pamornya. Banyak dipakai berbagai kalangan dan usia. Untuk menjadikannya sebagai salah satu budaya yang diakui oleh dunia, masih diperlukan penelitian dan tulisan-tulisan tentang kesejarahan kebaya ini.

Lana T. Koentjoro memberikan apresiasi atas usaha 28 perempuan penulis merampungkan buku tentang kebaya ini. Menurutnya, buku ini layak menjadi salah satu referensi tentang kebaya Indonesia | Soetro

 

Editor : eCatri
 
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 278
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 140
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya