Kala Kritik Sastra Berujung Pidana

| dilihat 2422

AKARPADINEWS.COM | Sejatinya, karya seni akan semakin berkualitas jika ada kritik yang dilakukan oleh praktisinya. Namun, kajian kritik yang bersifat konstruktif itu tidak akan memperkaya kualitas karya sastra jika dibalas dengan upaya pelemahan.

Hal itu tercermin pada penjemputan Saut Situmorang oleh tiga polisi dari Kepolisian Resor Jakarta Timur Kamis lalu (26/3). Penjemputan ini sebagai tindak lanjut atas laporan Fatin Hamama terkait kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Saut kepada dirinya di media sosial.

Pemanggilan Saut adalah buntut polemik atas terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (TSIPB) yang terbit pada pertengahan tahun 2014 lalu. Berbagai reaksi protes muncul terhadap buku yang disusun oleh Jamal D Rahman dan Tim Delapan sebagai juri dan konseptor TSPIB.

Beberapa perdebatan dan kritik muncul tatkala para satrawan Indonesia menggugat kredibilitas buku ini. Salah satunya Saut Situmorang, sastrawan penggagas komunitas sastra Boemipoetra ini memprotes keras terbitnya TSIPB di laman facebook Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Sayangnya, Saut menggunakan kata-kata kasar seperti lonte, mucikari tua, dan bajingan yang diarahkan kepada Fatin Hamama.

Saut adalah seorang sastrawan dan kritikus sastra yang berdomisili di Jogja. Ia telah memenangkan beberapa penghargaan puisi internasional. Ia juga pernah menerbitkan buku Saut Kecil Bicara dengan Tuhan dan Politik Sastra. Saut dikenal sebagai orang yang blak-blakan. Kebiasaan tersebut akhirnya berbuntut panjang akibat makian Saut kepada Fatin Hamama yang ia anggap terlibat dan bersalah terkait terbitnya buku TSIPB.

Fatin yang notabene juga seorang sastrawan tidak terima caci-maki Saut yang dianggap telah melakukan kekerasan verbal terhadap dirinya melalui facebook. Sebelum Saut, Fatin sempat melaporkan sastrawan Iwan Soekri Munaf dengan tindakan sama, yaitu kekerasan verbal yang diarahkan Iwan kepada dirinya.

Saut dan Iwan kini dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat 1 UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Titik berat yang dipersoalkan Saut dan sastrawan lain adalah pencatutan nama Denny JA sebagai sastrawan berpengaruh Indonesia, sejajar dengan nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, HB Jassin, dan lainnya.

Denny JA dinilai tidak pantas disejajarkan dengan sastrawan tersebut karena ia belum melakukan apa-apa terhadap perkembangan dunia sastra tanah air. Selain itu, mereka mencurigai bahwa buku ini merupakan wujud dari proyek ambisius yang dilakukan Denny JA. Ia adalah aktor di balik pendana buku TSIPB.

Logika sederhananya, Denny JA punya segudang uang dan ia mendanai sebuah buku lalu memasukkan namanya. Bahkan, menjadikan dirinya sebagai tokoh. Memang, Denny JA sempat menggagas dan mempopulerkan genre baru bernama puisi esai. Namun, itu saja tidak cukup untuk membuktikan puisi esai sebagai karya sastra terbaik.

Jika dilihat track record Denny JA, sangat mengherankan jika seorang yang mengawali karir sebagai konsultan politik secara tiba-tiba menjadi tokoh paling mahir di bidang sastra? Pertanyaan dan keherenan ini adalah bentuk upaya kritis sastrawan seperti Saut dan lainnya.

Denny JA adalah pakar politik yang ikut memenangkan tiga kali pemilu presiden berturut-turut. Ia juga penggagas lembaga Lingkaran Survei Indonesia. Tahun 2012 adalah awal mula dirinya membentuk identitas baru sebagai sastrawan. Ia membuat buku puisi yang ia sebut puisi esai. Bukunya diberi kata pengantar oleh sastrawan ternama di Indonesia seperti Sapardi Djoko Darmono, Ignas Kleden, dan Sutardji Calzoum Bachri.

Setelah buku itu terbit, beberapa kegiatan sastra diadakan. Lomba menulis resensi, lomba penulisan puisi esai, pembacaan puisi, dan sebagainya. Berbagai artikel kampanye puisi esai terbit di Jurnal Sajak dan Majalah Sastra Horison. Lalu, muncul juga buku-buku kumpulan puisi esai yang kebanyakan diterbitkan oleh Jurnal Sajak.

Berdasarkan situs puisi-esai.com, Denny JA juga menggaet sineas kenamaan Hanung Bramantyo sebagai co-produser untuk membuat film yang diadopsi dari lima puisi di buku itu. Kemudian, puisi esai Denny JA juga dibuat video klip dengan pembacaan puisi oleh Sudjiwo Tedjo, Niniek L Karim, Sutardji Calzoum Bachri, dan Fatin Hamama.

Seorang kritikus sastra, AS Laksana dalam esainya di kolom koran Jawa Pos menuliskan, bahwa Denny JA telah melakukan semacam pekerjaan propaganda untuk menggemparkan dan memengaruhi kesadaran publik tentang kelahiran puisi esai. Bermodalkan hal itu, ia mentasbihkan puisi esai sebagai genre baru sastra Indonesia. Dan, Denny JA sebagai pelopornya.

Jika dicerna lebih jauh, puisi esai terlalu prematur untuk dianggap sebagai karya mutakhir di jagad sastra Indonesia. Karena, belum ada penghargaan dari lembaga atau institusi, bahkan media yang menganugerahi puisi esai sebagai terobosan baru di ranah sastra Indonesia.

Selain itu, jika merujuk sisi tekstual puisi esai, maka puisi esai tidak mempunyai integritas kuat. Hal ini merujuk kepada buku Kritik Sastra Indonesia Modern milik guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Rachmat Djoko Pradopo. Ia mengatakan bahwa puisi adalah karya yang berorientasi pada interpretasi pembaca. Tidak perlu ada upaya pengarang untuk menjelaskan makna sebuah puisi yang ia ciptakan. Tentu, hal ini bertentangan dengan puisi esai yang menyertakan penjelasan makna di setiap akhir puisinya.

Pengalihan Kritik Buku TSIPB

Di luar konteks kritik terhadap puisi esai dan upaya politis yang dilakukan Denny JA, penangkapan Saut Situmorang disinyalir sebagai bentuk pengalihan opini terhadap kasus terbitnya buku TSIPB. Menurut Katrin Bandel, seorang kritikus sastra dan dosen S2 Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, kasus pengangkapan Saut adalah wujud pengalihan perhatian publik dari substansi atas kritik terhadap buku TSIPB ke kasus pemakian Fatin Hamama.

Jika berangkat pada argumentasi Katrin tersebut, maka masyarakat awam hanya akan melihat adanya kata-kata tidak sopan yang dilontarkan kepada seorang perempuan baik-baik, sekaligus sastrawan. Kesan seperti itu yang Fatin bangun terhadap dirinya di berbagai kesempatan.

Dengan demikian, orang-orang hanya akan bersimpati kepada Fatin tanpa tahu apa substansi dan masalah yang sebenarnya terjadi. Analoginya, kasus pencemaran nama baik ini menjadi ajang untuk memanfaatkan dan menggiring publik melupakan bahkan melemahkan seluruh kritik terhadap buku TSIPB.

Sejatinya, jika ada upaya melawan kritik yang diarahkan pada suatu karya sastra, idealnya bagi pihak yang tidak terima, ia harus melakukan diskusi yang bersifat intelektual. Karya tersebut dibahas di depan publik oleh para pakar yang berkompeten. Bukan membentuk suatu pemahaman keliru dan membuat permasalahan lainnya. Karena, polemik ini sebenarnya berada di ranah perdebatan sastra tapi justru masuk ke lingkup hukum.

Jika pelemahan sebuah kritik terhadap karya sastra di Indonesia sudah seperti ini, kegiatan kesenian khasnya sastra, berpotensi melahirkan karya yang tidak berkualitas dan cenderung politis. Karena, menurut filsuf Prancis, Alain Badiou, sastra memiliki kapasitas untuk mengartikulasikan kebenaran dari sebuah realitas sosial.

Tapi, bagaimana jika tidak ada upaya kritik terhadap karya sastra? Tentu, kebenaran yang dimaksud Badiou tidak akan pernah mencapai substansinya, justru karya sastra tersebut menyimpan rekayasa atau kebohongan.

Adhimas Faisal

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 248
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 474
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 466
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 438
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 259
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 429
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 275
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya