Dewan Kebudayaan Jawa Barat

Jangan Tergesa-gesa Undangkan RUU Kebudayaan

| dilihat 2549

BANDUNG, AKARPADINEWS.COM | DEWAN Kebudayaan Jawa Barat (DKJB), Rabu (7/10/15) di Ruang Sidang Yayasan Pusat Kebudayaan – Bandung, membahas  membahas academic draft dan RUU Kebudayaan. Pembahasan dalam rapat kerja itu dipimpin langsung oleh Prof. Ganjar Kurnia, dengan pengantar pemahaman tentang undang-undang dari Anggota DKJB Yesmil Anwar alhajj.

Hadir dalam rapat kerja itu para anggota DKJB lainnya : Prof. Bambang Wibawarta, Prof. Dede Mariana, Dr. Buki Wikagoe, Iman Taufik, Yus Ruslan Achmad, Aat Suratin, Yayat Hendayana, N. Syamsuddin Ch. Haesy dan perwakilan dari Paguyuban Pasundan, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Jawa Barat dan lain-lain.

Yesmil mengemukakan dalam proses penyusunan undang-undang, academic draft Rancangan Undang Undang (RUU) cenderung menyerap seluruh substansi dari berbagai kalangan stakeholders. Namun, dalam aplikasinya ke dalam pasal-pasal, selalu tidak sinkron. Terutama karena masuknya berbagai kepentingan di dalamnya.

Ganjar mengemukakan, DKJB berkepentingan membahas RUU Kebudayaan, meski sebagian anggota berpandangan, masalah kebudayaan terlalu luas untuk diatur dalam suatu undang-undang. Terutama, karena kebudayaan itu meliputi seluruh aspek kehidupan, terkait dengan ideologi, politik, sosial, ekonomi, hankam, dan agama. Karenanya, Ganjar sama berpendapat dengan sebagian anggota DKJB, bahwa UU Kebudayaan yang sesungguhnya sudah ada, yaitu UUD ’45.

Kendati demikian berbagai aspek operasional terkait kebudayaan, perlu diatur dalam undang-undang. Tetapi tidak dengan menggunakan tajuk UU Kebudayaan. Beberapa alternatif dapat dipilih oleh DPR terkait tajuk tersebut. Bisa UU Pengelolaan Kebudayaan, bisa juga UU Penyelenggaraan Kebudayaan. Pandangan lain yang mengemuka dalam rapat tersebut adalah sebaiknya DPR membahas RUU tentang produk budaya.

Dalam rapat tersebut berkembang pemikiran tentang masih rancunya hal-hal substantif kebudayaan dengan persoalan teknis operasional penyelenggaraan kebudayaan, termasuk kelembagaan. Dikemukakan, sebenarnya yang paling esensial harus dipahami oleh anggota DPR RI adalah, semua undang-undang harus berdimensi kebudayaan. Misalnya dalam RUU Hukum Acara Pidana dan RUU Hukum Acara Perdata, termasuk penyempurnaan kembali sejumlah undang-undang, seperti Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang Undang Perencanaan Pembangunan Nasional, dan berbagai Undang-Undang lainnya.

PROF BAMBANG WIBAWARTA, IMAN TAUFIK, BUKY WIKAGOE ANGGOTA DEWAN KEBUDAYAAN JAWA BARAT |

Dalam rapat tersebut juga mengemuka pandangan, banyak hal yang diatur dalam pasal-pasal RUU Kebudayaan, sejatinya dirumuskan dibahas sebagai RUU tersendiri, misalnya tentang Produk dan Industri Budaya, Perlindungan dan Pelestarian Warisan Budaya, Bahasa Nasional, Masyarakat Adat, dan lainnya.  Rapat DKJB juga mengingatkan agar DPR RI tidak justru mereduksi kebudayaan melalui UU Kebudayaan, yang terkesan akan dipaksakan untuk terus dibahas.

Pengkajian matang dan mendalam tentang substansi kebudayaan, menurut Yesmil perlu dilakukan, agar tidak terjadi lagi kasus, suatu Undang Undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa saat setelah disahkan.

Pada sisi lain, Ganjar mengingatkan, dalam membahas RUU Kebudayaan, sebaiknya kalangan TNI/Polri juga dilibatkan untuk melihat ancaman sosial budaya dalam konteks pertahanan nasional dan ketertiban masyarakat.

Di sisi lain, terkait dengan keseluruhan aksi governansi dan pembangunan, rapat kerja DKJB mengingatkan DPR RI untuk memperhatikan relasi korelasi sosial budaya yang berhubungan langsung dengan peningkatan daya saing bangsa. Termasuk berbagai aksi budaya, seperti disiplin pribadi dan disiplin sosial, jati diri bangsa, dan lainnya.

Prof. Bambang Wibawarta mengemukakan, dari serangkaian perbaikan draft RUU Kebudayaan, masih banyak hal yang harus diperbaiki, apapun judulnya kelak. Prof. Ganjar menambahkan, hal terpenting yang harus dicatat adalah sanksi yang harus diberlakukan kepada pihak-pihak penyelenggara aksi kebudayaan. “Bila penyelenggara tidak melaksanakan Undang Undang, apa sanksi yang harus diberikan.”

PROF. DEDE MARIANA DAN YUS RUSLAN ACHMAD - ANGGOTA DEWAN KEBUDAYAAN JAWA BARAT

Secara teoritik, academic draft RUU ini sebenarnya telah mengurai jelas tentang tanggungjawab negara terhadap kebudayaan. Misalnya dikemukakan, “Dari amanat Undang-undang Dasar 1945, pemerintah berupaya memajukan kebudayaan nasional Indonesia, dan usaha kebudayaan ini harus menuju ke arah kemajuan peradaban, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak nilai-nilai baru dari kebudayaan asing, dengan catatan bahwa nilai-nilai budaya asing tersebut dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Draft academic itu juga mengurai esensi Pancasila sebagai dasar (bukan pilar) negara, tapi sejak berlangsungnya reformasi, nyaris semua undang-undang yang disahkan tidak memasukkan Pancasila sebagai dasar.

Selain itu, draft academic RUU Kebudayaan menegaskan, “Secara sosiologis kekayaan bangsa ini secara kultural itulah yang dapat dijadikan sebuah potensi tersendiri bagi bangsa Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Potensi sosio-kultural bangsa Indonesia yang khas ini ketika dijabarkan lebih lanjut secara terperinci, setidaknya terdapat beberapa hal yang merupakan lansekap kebudayaan nasional secara umum, yaitu: keanekaragaman kearifan lokal, keanekaragaman bahasa, keanekaragaman seni, keaneka-ragaman warisan budaya, keanekaragaman religi, keanekaragaman falsafah hidup, dan budaya nasional dan globalisasi.”

Kendati demikian draft academic ini secara tersurat mengemukakan, bahwa pengertian Kebudayaan yang selama ini dipahami oleh masyarakat akademis sebagai : “keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ternyata tidak mampu menjadi penafsiran tunggal mengenai hakekat Kebudayaan.

Maknanya adalah, secara substantif yang diperlukan memang bukan RUU Kebudayaan, melainkan RUU tentang penyelenggaraan kebudayaan, yang berorientasi operasional dan dapat menjadi basis hukum rancang kebijakan dan kebijakan pembangunan berbasis budaya, atau strategi kebudayaan itu sendiri.

DKJB menghargai inisiatif untuk menempatkan kebudayaan sebagai pilar penyelenggaraan negara. DKJB melihat, dengan mengubah judul dan substansi, undang-undang terkait dengan aksi kebudayaan perlu diapresiasi.  Jangan tergesa-gesa Undangkan RUU Kebudayan. | Bang Sem

Editor : Web Administrator
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 940
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1170
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1431
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1580
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 526
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1046
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 267
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 740
Momentum Cinta
Selanjutnya