Glokalisasi di Kampung Naga

| dilihat 2681

AKARPADINEWS.COM| Kearifan lokal dan bersahabat dengan alam menjadi tuntunan bagi penghuni Kampung Naga. Nilai-nilai yang diwarisi para leluhur itu tetap dipertahankan.

Di tengah serbuan arus perubahan dari luar saat ini, mereka tetap konsisten mengadopsi tradisi leluhur Sunda yang sudah ada sejak masa peralihan Hindu hingga Islam. Filosofis hidup masyarakat Kampung Naga adalah selaras dengan alam yang dicintainya dan mengikuti warisan kearifan serta pengetahuan lokal dari leluhur sebagai identitas murninya. 

Kampung Naga berada di kawasan Desa Neglasari Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, sekitar 500 meter dari jalan raya Garut-Tasikmalaya. Kampung Naga berada di antara dua bukit dan di samping aliran sungai Ciwulan.

Butuh perjuangan untuk mencapai Kampung Naga. Pengunjung harus menuruni sekitar 420 anak tangga dan melewati jalanan kecil yang berkelak-kelok di antara hamparan pesawahan yang asri dan hijau.

Menurut Tatang Sutisna  (47 tahun), salah satu sesepuh Kampung Naga, dengan menerapkan pola hidup bersama alam, meski Kampung Naga berada di lembah, tidak pernah penghuninya terkena bencana longsor. Mereka juga tidak pernah dihantam banjir meski tinggal di sungai. "Sesepuh kami bilang tidak ada bencana alam, yang ada bencana akhlak seperti yang ada di kota-kota besar” ujarnya ketika ditemui Akar Padi News di Kampung Naga, belum lama ini.

Kang Entang, demikian sapaan akrabnya, merupakan salah satu sesepuh dan pemandu wisata di Kampung Naga yang dipercaya warga untuk menjelaskan tanah kelahirannya pada para pengunjung maupun peneliti yang tertarik meneliti Kampung Naga.

Menurut Entang, nama Kampung Naga disebut-sebut berasal dari kata Pareum Obor (mati obor) yang identik dengan kehidupan masyarakatnya yang tidak menggunakan lampu. Dari latar belakang sejarahnya, masyarakat adat Kampung Naga mengaku keturunan dari Eyang Singaparna, pewaris terakhir tahta Kerajaan Galunggung yang beragama Islam.

Namun, dilihat dari adat istiadat dan ritual keagamaan yang dilakukan seperti Upacara Hajat Sasih, Upacara Nyepi, Upacara Panen, Upacara lingkaran hidup, Upacara Gusaran, dan Upacara Kawinan, lebih merujuk pada budaya Hindu.

Di sinilah terdapat negosiasi antara Islam dan ajaran lokal. “Untuk melihat Kampung Naga, saya pesan mohon dibedakan antara agama dan adat istiadat,” jelas Entang. Meskipun sebenarnya nama dan identitas Kampung Naga sudah raib karena pada tahun 1956 pemberontak DI TII Kartosuwiryo membakar hampir semua kampung di Tasik, termasuk Kampung Naga yang tidak setuju dengan berdirinya negara Islam.

 

Di kesenian, Kampung Naga hanya mengenal seni tradisi Terbang Gembrung yaitu alat musik dan nyanyian mirip tagonian dalam tradisi Islam, angklung, beluk, dan rengkong yang sudah langka.

Kampung Naga adalah prototipe perkampungan Sunda masa lampau. Di atas tanah seluas 1,5 hektar ini, terbagi atas tiga wilayah: yaitu Hutan Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) di sebelah barat, perkampungan di tengah-tengah, dan Hutan Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur.

Untuk perkampungan, bentangan pagar bambu memisahkan antara kawasan bersih (rumah warga) dan kawasan kotor untuk polusi besar seperti toilet, kandang hewan, dan kolam ikan. Berdasarkan pembagian wilayah tersebut, bila menggunakan kerangka teori antropologi budaya, mereka membangun kosmologi ruang: atas-tengah-bawah atau baik-netral-buruk.

Termasuk pada bentuk rumah mereka yang seragam. Bahkan, untuk bale warga, rumah kuncen dan mesjid, menghadap ke utara dan selatan. Gambaran rumah bagi masyarakat Kampung Naga sama halnya dengan struktur tubuh manusia bahkan dunia yang dibangun berdasarkan enam elemen seperti bagian atas (atapnya) dari injuk aren untuk menyerap panas, tengah dari bambu dan kayu, lalu bagian bawah sebagai penyangga dari batu. Struktur rumah Kampung Naga sangat kokoh, fleksibel, dan antigempa.

Warisan budaya dijaga agar masyarakat masa kini memandang dan memperlakukan tradisi leluhurnya. Saat ini, di Kampung Naga, terdapat 13 kepala keluarga dan sekitar 300-an warga yang kebanyakan adalah orang tua yang masih memegang tradisi dan bekerja sebagai petani dan pengrajin. Sisanya, hampir 99 persen masyarakat Kampung Naga khususnya dari kalangan muda berada di luar Kampung Naga untuk bersekolah, bekerja, dan menikah.

“Masyarakat Kampung Naga boleh berpendidikan global, berpikiran intelektual, tapi laku lampah harus lokal” jelas Entang. Masyarakatnya memang terbuka pada dunia luar. Bahkan, ada yang menuntut ilmu dan bekerja hingga ke Jepang. Demikian pula dalam urusan pernikahan. Warganya dibebaskan menikah dengan warga yang yang bukan dari Kampung Naga, asalkan beragama Islam.

Warga Kampung Naga menunjukan struktur masyarakat yang berada di dua kaki, antara lokal dan global (glokalisasi). Mereka Tetap mempertahankan adat istiadat leluhur, namun membuka diri dari pengaruh dari dunia luar.  

Kawasan Kampung Naga juga menjadi pariwisata bagi pengunjung domestik maupun mancanegara. Meskipun sebenarnya, Entang dan masyarakat Kampung Naga berharap agar desanya tidak hanya menjadi ajang pelesiran. “Kami tidak ingin menjadi tontonan, tapi semoga budaya kami dapat menjadi tuntunan hidup.”

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 248
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 344
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 954
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1176
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1443
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1589
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya