Jakarta Melayu Festival 2016

Galeri Nasional Indonesia Tolak Budaya Melayu, Isin Kule

| dilihat 3509

Catatan Bang Sem

NATIONAL Gallery of Arts Sclupture Garden di Washington DC adalah galeri nasional seni rupa dan taman patung yang sungguh beken se antero dunia. Ke museum dan sentra eksibisi karya kreatif seniman seni rupa inilah para peminat senirupa dunia datang bertandang. Khasnya untuk beroleh pengetahuan dan pengalaman baru tentang seni rupa dan seni patung.

Dengan gedung induk gaya barock yang lalu berkembang dengan ekspresi arsitektural yang mulai mengenal pilar dan dome, beberapa blok kompleks galeri nasional itu menjadi menarik. Tapi tak cukup dengan itu.

Menyadari, bahwa seni rupa dan seni patung adalah bagian dari seluruh sistem budaya yang saling bersentuhan satu dengan lain, pengelola museum nasional Amerika Serikat, berusaha menjadikan galeri nasional itu titik simpul harmoni kreativitas seni. Khasnya, seni yang bisa menyatukan semua orang : musik.

Pengelola galeri nasional ini, kemudian menggelar konser aneka musik, tentu yang relevan dengan suasana galeri. Maka digelarlah di situ konser musik jazz, resital piano, resital musik brass, sampai orkestra. Oran Etkin mengisi dengan konser Re-imagining Benny Goodman sebagai penghargaan kepada Paul Mellon. Kali lain, pengunjung konser musik juga menikmati karya-karya Beethoven, Mozart, Bach dan lainnya.

Sepanjang 2016, Galeri Nasional Amerika Serikat ini, juga menggelar konser jazz brunch, setelah sebelumnya sukses menggelar ekspresi musik lokal. Mereka membentuk Gallery of Art Orchestra dan Gallery of Art Ensemble, bekerjasama dengan Morton Subotnick, The Serial Impulse, dan lainnya. Sebelumnya, mereka menggelar pula Vocal Ensemble yang terinspirasi oleh karya-karya sclupture koleksinya bertema Power and Pathos – patung-patung perunggu temuan Helenistik Dunia.

Kala menggelar Hispanik Heritage Month, tahun 2015, mereka juga menghadirkan ekspresi musik dan tari latin yang memberi makna aksentuatif bagi Scluptute Garden. Antara lain dengan menghadirkan Pablo Ziegler Quartet New Tango. Galeri Nasional Amerika Serikat ini, juga berhasil menghadirkan dengan indah paduan estetik, artistik, dan etik dari budaya lokal yang hidup dan berkembang di negeri kaum migran itu. Terutama, ketika mereka mengambil porsi dalam peringatan hari Kemerdekaan Amerika Serikat, Independence Day.

Alhasil, Galeri Nasional dan Taman Patung Amerika yang berbasis seni rupa, itu melihat relevansi pergelaran musik dengan aroma budaya lebih kompleks untuk melihat korelasi seni dari berbagai cabangnya secara utuh, terintegrasi. Dengan kesadaran itu, di bagian-bagian luar (outdoor) kompleks Galeri Nasional, ini pengunjung dapat menikmati  Washington Saxophone Quartet. Atau Poulenc Trio Baltimore yang dihidupkan oleh Copland, Prokofiev, Stravinsky, dan Weinberg.  Begitulah seterusnya.

Dengan padu padan harmoni seni musik yang juga kaya, sehingga menjadi bagian indah dari keseluruhan arts world, menjelaskan bahwa senirupa dan sclupture bukan sesuatu yang asing sendiri. Karena seni rupa dan sclupture selalu mampu berpadupadan dengan seni lain, khasnya seni musik, sebagai perekat seni universal. Seni secara keseluruhan selalu dalam konteks : unity and diversity.

Yang jelas, karena kreativitas pengelolanya dengan sikap open mind yang luas, National Gallery of Art and Sclupture, itu menjadi ramai pengunjung. Dan, apresiasi terhadap seni rupa dan sclupture juga berkembang kian luas.  Hal semacam ini memang sudah berlaku umum di banyak negara, terutama di Eropa.

Bagaimana di Indonesia? Saya termasuk salah seorang yang gembira, ketika Geisz Chalifah – satu-satunya promotor musik dan budaya melayu yang konsisten memperjuangkan pentas seni dunia melayu secara kongkret – menyampaikan rencananya menggelar Jakarta melayu Festival di kompleks Galeri Nasional – Jalan Merdeka Timur. 

Kompleks Galeri Nasional yang sebelumnya merupakan kompleks SMA Negeri 7 (tempat Geisz menuntut ilmu), belakangan ini seperti halnya museum, belum begitu populer sebagai tempat pilihan masyarakat beroleh katarsis. Letaknya di Medan Merdeka Timur  -  memungkinkan Galeri Nasional membuka ruang katarsis publik di tengah dinamika Jakarta yang tak pernah sepi dari kemacetan dan buncahan informasi buruk, sejak dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang tak berbudaya.

Konsep yang diungkapkan Geisz juga menarik. Sangat mengekspresikan integralitas budaya Melayu yang kompleks, tapi utuh. Ada pergelaran musik, tari, eksibisi kuliner, dan tentu performa fashion yang dapat mempertemukan musik dengan senirupa sekaligus.

Apalagi, ketika Jakarta Melayu Festival 2014 digelar Geisz di Taman Ismail Marzuki, padu padan musik dengan seni rupa, sungguh menarik.

Saya lantas membayangkan, karena rencana Jakarta Melayu Festival itu akan digelar bulan Agustus, Galeri Nasional bisa ambil inisiatif,  sekaligus menghadirkan pameran lukisan karya-karya pelukis Indonesia yang karib -- tak berjarak -- dengan budaya melayu, seperti Raden Saleh, Salim, Affandi, Basuki Abdullah, Ahmad Sadali, A.D Pirous, Nashar, Jeihan, Popo Iskandar, Firdaus Alamudi, Ami Yahya, sampai generasi baru seperti Herry DIM, Ahmad Syahbandi, Rudi Manthovani, Masriel, dan lainnya.

Arsitektur berbagai gedung di Galleri Nasional, saya bayangkan (dengan tata lampu yang mutakhir) akan menjadi sesuatu yang hidup sebagai rumah budaya. Akan mengajak kita menelusuri perjalanan historis Melayu sebagai akar budaya nasional.

Imajinasi saya mengembara, membayangkan, dengan gelaran Jakarta Melayu Festival, Galeri Nasional akan menjadi salah satu tonggak penting untuk menghadirkan kembali Indonesia dan ke-Indonesia-an dalam konteksnya yang sangat historical dengan spirit nasionalisme religius yang melatari dasar negara, Pancasila.

Tentu saja, Jakarta Melayu Festival akan jauh lebih punya makna dan bernilai, katimbang Break Time Blues yang pernah disediakan ruang ekspresi di sini beberapa tahun lalu.  Bahkan jauh lebih relevan dibandingkan dengan musik Rock @ Gedung Galeri Nasional (30 April 2016) yang digelar Kafe Jambodroe, dan tak relevan (di mata art view) dengan positioning Galeri Nasional itu sendiri.

Maka segera terbayang, Jakarta Melayu Festival (yang mengekspresikan budaya Melayu katimbang hanya musik melayu), akan membuat Galeri Nasional itu laksana London National Arts Gallery, ketika direkturnya – David E Finley, menggelar rangkaian konser dan eksibisi budaya Inggris Raya 31 Mei 1942 yang disiarkan langsung Radio Publik Nasional (semacam RRI).

Aktivitas itu terus berlangsung, bahkan antara 1952 – 1962 menjadi salah satu agenda seni internasional yang menginspirasi gelaran musik ruang terbuka di musim panas. Agenda itu melibatkan AW Mellon, Calouste, William Nelson Cromwell, dan F. Lammot Belin.

Saya juga berimajinasi, Jakarta Melayu Festival yang sudah berpengalaman menghadirkan ekspresi budaya yang menghadirkan harmoni estetika, artistika, dan etika itu (secara mandiri tanpa pernah membebani pemerintah) itu akan berkontribusi menghadirkan Galeri Nasional yang lebih karib dengan masyarakat. Dengan begitu Galeri Nasional bisa lebih cepat, “menumbuhkan masyarakat Indonesia yang kreatif, apresiatif, dan menyintai khasanah budaya bangsa,” sesuai visi-nya.

Saya terkejut, ketika Geisz mengatakan, pimpinan Galeri Nasional – Tubagus Andre Sukmana yang mantan guru kesenian di SMA 31 Jakarta Timur, itu menolak rencana baik Gita Cinta Production yang dipimpin Geisz itu. Alasannya? Jakarta Melayu Festival tidak relevan dengan core Galeri Nasional Indonesia, itu.

Tentu, ini alasan – yang dalam istilah Pandeglang - Banten disebut kumpeu – mengada-ada karena ketidakmauan dan ketidakmampuan melihat sesuatu yang lebih luas.

Saya sepakat dengan Geisz, untuk menegaskan, peristiwa budaya Jakarta Melayu Festival yang dirancangnya, semestinya beroleh ruang luas dari institusi seni, karena tujuannya juga untuk membantu lembaga pemerintah itu.  Tapi penolakan dengan alasan kumpeu, itu seperti kata Geisz, “Setidaknya kami paham, sebatas itulah kualitas pengelola lembaga kebudayaan pada budaya bangsanya sendiri.”

Itulah yang diterima Geisz, terutama karena Galeri Nasional lebih suka menghadirkan blues dan rock, katimbang budaya Melayu. Dan Galeri Nasional Indonesia, bak katak dalam tempurung kaca. Melihat dunia luas, tapi tetap terkungkung di dalam tempurung.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mendukung perkembangan musik dan budaya melayu supaya menjadi tuan rumah di negeri orang. Eh.., Kepala Galeri Nasional menolaknya.

Boleh jadi, Dirjend Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perlu memberi wawasan baru bagi kepala dan pengelola Galeri Nasional Indonesia, itu. Jangan melihat core suatu galeri secara autik, supaya tidak berlaku autism policy. Hadeuh.. Isin Kule (malu saya) ! |  

Editor : sem haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 785
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1505
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya