Dari Diskusi Akademi Jakarta tentang Kepemimpinan

Demagog Bisa Jadi Pemimpin

| dilihat 650

Dua pembicara dalam diskusi Akademi Jakarta bertajuk Kursi Panas Dingin, di Taman Ismail Marzuki - Senin (24/6.24) tampil dengan paparan dan pandangan yang memikat, bersemangat dan mencerahkan. Dan, paparan keduanya sungguh menggambarkan situasi yang tersirat dalam Kalatida Ranggawarsita yang dibaca Seno. (Baca: Kursi Panas Dingin di Zaman Kalatida)

Menariknya, diskusi ini tak hanya membuka ruang interaksi antar pembicara dengan peserta, tetapi juga antar nara sumber, ihwal status partai politik : swasta atau pemerintah? Pada saat mana menjadi swasta dan pada saat mana sebagai pemerintah. Hal ini penting karena terkait bagaimana konstelasi mereka di mata undang-undang. Khasnya undang-undang tentang raswah (korupsi).

Pada beberapa substansi, paparan dan pandangan kedua nara sumber saling bersinggungan dan melengkapi satu dengan lainnya. Khasnya, ketika sampai pada bagaimana proses rekrutmen pemimpin dalam kekuasaan dan bagaimana perkembangannya dari masa lampau (era Yunani, Romawi, Revolusi Perancis, Demokrasi) sampai kini, dari pengalaman global sampai lokal.

Dalam konteks konstelasi negarawan dan pemimpin, Romo Setyo mengemukakan,  kekuasaan sudah ada sejak manusia ada. Di era Yunani, Romawi dan Abad Pertengahan kekuasaan ada di tangan raja dan kaisar (dengan dinastinya) atau orang-orang kuat bertangan besi. Di era itu, orang yang memegang kekuasaan akan melakukan apa pun yang ia sukai atas nama kekuasaan.

Sejak Revolusi Prancis, kekuasaan tiba-tiba diberangus. Rakyat mengambil alih kekuasaan, dan  memutuskan bahwa demokrasi adalah pembatasan kekuasaan. Ada checks and balances (dengan 3 institusi terpisah: eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan ada pembatasan kekuasaan (masa jabatan hanya 1 periode atau 2 periode, ada batas usia juga).

Praktik Pemilu 2024

Masih mengacu pada analisis Naim, Romo Setyo mengemukakan, di banyak negara demokratis, para presiden menggunakan ragam taktik untuk membuat hukum menjadi sekedar alat untuk melayani kepentingannya sendiri.

Akan halnya Susi, menukil pandangan Jeffrey K. Tulis menganalisis tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh beberapa Presiden Amerika dalam kondisi darurat atas dasar interpretasi konstitusi.  Analisis demikian, membawa pada pemikiran bahwa kenegarawanan?dan negarawan dapat berbeda dengan kepemimpinan (leadership) atau pemimpin (leader).

"Saya memiliki keyakinan yang dimaksudkan sebagai kepemimpinan dan pemimpin dalam diskusi ini merujuk?pada kenegarawanan dan negarawan. Jika demikian, maka tidak mudah menentukan kriteria negarawan mengingat terdapatnya beragam variabel penting, khususnya berkenaan dengan cara pengisian, antara lain: sosok orang serta wawasan pemilih dan kualitas kehidupan publik yang berkaitan dengan kesadaran etis, kesadaran hukum, wawasan sejarah dan budaya," jelas Susi.

Romo Setyo memantik kesadaran khalayak mulai dari praktik politik empiris Pemilu 2024 (baik Pilpres maupun Pileg). Ia mengemukakan, Pemilu sudah selesai. Tahapan persiapan pelaksanaan sampai penyelesaian sengketa di MK sudah kelar. KPU (dengan DKPP), Bawaslu, MK (dengan MKMK) sudah menjalankan tugasnya. Lantas bertanya, "Apakah pemilu berjalan dengan baik, sehingga penguasa terpilih benar-benar hasil proses yang demokratis?"

"Paling aman tentu menjawab "iya sekaligus tidak," ujarnya. Ia melanjutkan, "Yang terakhir adalah sikap saya." Di satu sisi, iya, pemilu sudah terjadi, prosedur demokrasi sudah dijalankan. Di sisi lain, tidak, karena pemilu ini hanyalah “prosedural” saja, dalam arti “prosedur yang dijalankan hanya mirip basa-basi” karena semua sudah diselesaikan “di bawah meja” sebelum pemilu berlangsung."

Romo Setyo mengemukakan, "Bagi generasi saya, ingatan akan zaman Suharto masih sangat kental. Suharto terkenal legalistik. Semboyannya adalah “semua harus konstitusional, dan kita hendak melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekuen.” Legalisme di era Suharto, di mana semua tampak legal prosedural, padahal urusan pemilu sudah dibereskan sebelum hari-H, tampak tak jauh berbeda dengan yang terjadi di pilpres kemarin."

Balas Dendam Kekuasaan

Dengan paparan yang memikat, Romo Setyo mengemukakan bagaimana politik pilpres mecah belah rakyat. Rakyat mengalami polarisasi, karena model politik populis tanpa ideologi. Proses politik  yang intinya hanya menggaet suara rakyat memakai model populis “Us versus Them.” Masing-masing pihak percaya pada kebenarannya masing-masing  alias post truth, yang hari-hari ini difasilitasi oleh algoritma medsos.

Romo Setyo mengungkap, Romo Frans Magniz Suseno, ketika dipanggil bersaksi (sebagai saksi ahli) di Mahkamah Konstitusi (2 April 2024), Romo Magnis menyebut Presiden yang menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan beberapa pihak sama seperti mafia.” (detikcom, 2 April 2024).

Sebutan Mafia itu langsung mengingatkan Romo Setyo akan analisis Moisés Naím dalam bukunya The Revenge of Power (Balas Dendam Kekuasaan) tentang upaya kaum otokrat di negara-negara demokrasi yang beroperasi mirip Kartel.

Dalam bukunya tersebut, Naim menawarkan “3 P” (Polarization, Populism and Post Truth) sebagai basis analisis atas situasi demokrasi di seluruh dunia yang sedang memburuk.

Maksudnya? Mirip pemimpin Kartel (Mafia Narkoba di Amerika Selatan), kaum otokrat di negara demokrasi menggunakan semua perangkat negara: hakim, polisi, tentara, media, PNS, dan para regulator (semacam KPU, Bawaslu) – untuk kepentingannya pribadi, dan bukan untuk kepentingan negara.

"Tujuannya apa? Mencurangi aturan main dengan kasat mata supaya kekuasaannya bisa dia pertahankan. Bila bisnis yang normal menerima adanya persaingan yang sehat, maka bisnis Kartel adalah contoh ultima bagaimana monopoli dijalankan," ungkapnya.

Situasi Pecah Belah

Romo Setyo mengemukakan, selepas pemilu kemarin, semua orang merasa bahwa “hukum di Indonesia gampang diubah ubah sesuai dengan kebutuhan politik”. Lalu, semua caleg -- yang lolos maupun yang tidak lolos -- bercerita bahwa politik uang di pemilu 2024 ini memang paling brutal.

Ia mengemukakan, "Tindakan Romo Magnis memberi kesaksian adalah sesuatu yang biasa saja, dan apa yang dikatakan Romo Magnis juga make sense. Namun ternyata hal ini memecah belah banyak orang. Saya tidak akan?bicara tentang reaksi para pengacara, atau intelektual atau mereka-mereka yang tampil di televisi atau dikutip di media massa. Saya berbicara tentang “situasi pecah belah” di kalangan rakyat biasa. Terus terang saya sangat kaget ketika ada orang-orang Katolik yang menghujat Romo Magnis dengan kelewat batas."

Sebagai tetangga kamar (karena tinggal dalam rumah yang sama dengan Romo Magniz), Romo Setyo mengatakan, semua narasi hujatan terhadap Romo Magniz tidak benar. Lantas, Romo Setyo mengungkap sesuatu yang tak rahasia lagi dalam praktik pemilu, khasnyua soal pragmatisme demokrasi dan politik transaksional.

"Caleg yang saya kenal semua bercerita bahwa politik uang harus ia lakukan. Suka tak suka, tak ada pilihan lain. Teman saya habis 2,2 M untuk kursi dewan di tingkat kabupaten," ungkap Romo Setyo.  "Akibatnya, secara umum kita melihat bagaimana pejabat politik dan bohir berkolusi mengekalkan kekuasaan dengan basis uang. Ini semua sangat mirip dengan modus operandi sebuah Kartel," tambahnya.

Dalam paparannya Romo Setyo mengungkap tentang clientelisma dalam praktik demokrasi tersebut. Sesuatu yang mempengaruhi relasi dan korelasi antara politisi dengan rakyat sebagai konstituen. Dan seperti menjadi pemahaman khalayak, pemilu sebagai ajang proses 'mendapatkan pemimpin dengan situasi dan kondisi demikian menghasilkan pemimpin yang bagaimana.

Kenegarawanan versus Kepemimpinan

Susi menghampiri topik utama diskusi dengan pendekatan dari pandangan Jeffrey K. Tulis tentang “constitutional officer” dalam tulisannya bertajuk dengan?“The Possibility of Constitutional Statesmanship” (2010). Tulis berpendapat, “statesmanship is an idealized form of a constitutional officer. A constitutional officer is neither a leader nor a statesman but rather something in between.”

Kenegarawanan merupakan wujud ideal dari 'pejabat' ketatanegaraan. Seorang pejabat konstitusi bukanlah seorang pemimpin atau negarawan, melainkan sesuatu di antara keduanya. Mengutip Tulis, Susi menjelaskan, bahwa kenegarawanan versus kepemimpinan tidak dapat dibedakan dengan melakukan kategorisasi terhadap serangkaian keterampilan, taktik, atau teknik-teknik politik yang digunakan oleh seorang pemimpin.

Dalam konteks demikian, seorang demagog dapat saja menjadi 'pemimpin,' namun sudah pasti bukan seorang negarawan. Karena para demagog kadang dedifinisikan sebagai pemimpin yang memanipulasi keinginan masyarakat dibandingkan memenuhi tuntutan nalar dan pertimbangan kolektif rakyat.

Seseorang dapat dikatakan sebagai negarawan atau bukan dapat dilakukan dengan menilai penjelasan tentang tujuan dan akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukannya. Umumnya, standar penilaian yang digunakan berangkat dari teori tentang keadilan dan common good (kebaikan bersama).  

Dalam kesempatan diskusi tersebut, Susi memusatkan perhatiannya pada posisi presiden. Dan diskusi itu diandaikannya sebagai 'mencari constitutional officer.' Mengapa Presiden? Karena posisi dan fungsinya sedemikian penting.

"Dalam bahasa Indonesia, istilah presiden digunakan dalam dua arti, yaitu menunjukkan lingkungan jabatan dan pejabat. Dalam bahasa Inggris, misalnya, istilah yang digunakan untuk lingkungan jabatan dan pejabat terdapat perbedaan. Untuk lingkungan jabatan biasa digunakan istilah presidency, sedangkan pejabatnya adalah president," ungkap Susi.

Mesti Bertanggungjawab Penuh

Susi sengaja memfokuskan bahasannya (dalam diskusi ini) pada jabatan Presiden, mengingat pentingnya fungsi Presiden yang mewujud dalam tugas, wewenang, hak serta kewajiban dalam sistem presidensial dalam sistem ketatanegaran Indonesia.

Dalam sistem presidensial, kata Susi, Presiden memiliki kedudukan yang sangat kuat. Ia mengutip Woodrow Wilson, yang menulis ,“the chief executive is the vital place action in the system, whether he accepts it as such or not, and the office is the measure of the man – of his wisdom as well as his force”.

"Menganut sistem presidensial menyebabkan Presiden Indonesia memiliki kualifikasi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang mewujud dalam empat kekuasaan, yaitu kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan; kekuasaan di bidang perundang-undangan; kekuasaan di bidang pengampunan (pardoning powers); serta kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri. Presiden adalah pemimpin dan penyelenggara tertinggi kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, Presiden menjalankan dan bertanggung jawab penuh atas seluruh kekuasaan eksekutif," jelas Susi.

Dengan kata lain, urainya kemudian, kekuasaan yang melekat pada kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan bentuk kekuasaan yang paling berpengaruh terhadap penyelenggaraan negara dibandingkan dengan kekuasaan jabatan lain.

Kekuasaan sebagai penyelenggara pemerintahan meliputi bidang kehidupan yang sangat luas, antara lain, meliputi bidang ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain-lain. Intinya yang berkenaan dengan peri kehidupan baik individu maupun masyarakat.

"Karena memiliki fungsi penting dalam sistem presidensial, maka seringkali terjadi dalam proses pembentukan konstitusi, materi muatan jabatan presiden menjadi salah satu materi perdebatan sengit diantara para pembentuk konstitusi," ujarnya. Ia mengambil amsal apa yang berlaku di Amerika Serikat.

"Saat Konstitusi Konfederasi Amerika Serikat gagal, dan para pendiri negara bersepakat merancang konstitusi baru untuk mendesain pemerintahan yang dapat berfungsi?secara efektif, maka salah satu penciptaan eksperimental terpenting yakni materi muatan (tentang) kepresidenan," jelasnya.

"Demikian pula saat proses perubahan UUD 1945 terjadi. Kala itu, kekuasaan Presiden termasuk salah satu yang dibatasi karena UUD 1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden karena selain bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden juga merupakan Mandataris MPR," tegasnya.

Presiden Menguat, Pengawasan DPR Melemah

Pada bagian lain pandangannya, Susi mengemukakan, "Selain merupakan salah satu materi muatan penting dalam konstitusi, hal penting lain yang berkenaan dengan presiden yakni syarat dan cara pengisian jabatan."

Hal ini sejalan dengan pandangan Bagir Manan yang menyatakan “Presiden (sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan) adalah jabatan yang sentral dan sangat penting dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia... "Jabatan Presiden membutuhkan kematangan, kearifan, dan wawasan. Semua itu memerlukan pengalaman dan pengetahuan serta kearifan lainnya yang cukup,” ungkapnya.

Ia lantas menguraikan ihwal kewenangan dan pengisian jabatan berdasarkan UUD 1945 Perubahan. "Perubahan kewenangan presiden?sebagai akibat perubahan UUD 1945 diargumentasikan lebih membatasi presiden karena beberapa kewenangan. Misalnya, pembentukan undang-undang berada di tangan DPR," urainya.

Selain itu, tambah Susi, dilakukan pula pembatasan cara presiden menjalankan kekuasaan. Hal tersebuit terlihat pada mekanisme pengangkatan duta dan penerimaan?duta negara lain, pengangkatan pejabat pemerintahan atau pejabat negara tertentu yang memerlukan persetujuan DPR atau dipilih oleh DPR, dan lain-lain."

Namun, katanya lagi, dalam kenyataannya, presiden justru menjadi lebih kuat, terutama terasa 10 tahun belakangan. Salah satu penyebab utama adalah tidak berjalannya mekanisme checks and balances yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara lainnya. DPR seakan-akan kembali menjadi “rubber stamp” dalam proses pembentukan undang- undang terutama jika inisiatif berasal dari Pemerintah karena acapkali mengikuti kehendak Pemerintah. UU Cipta Kerja adalah salah satu contoh paling nyata. Selain itu, fungsi pengawasan DPR menjadi lumpuh akibat adanya kabinet koalisi.

Ihwal Kesungguhan Bernegara

Bagaimana ke Depan? Presiden sebagai “Constitutional Officer.”?Susi memaknai constitutional officer sebagai pejabat konstitusi (dan bukan wakil partai), karena seorang presiden bersumpah memegang teguh konstitusi yang berarti pula harus melindungi konstitusi.

Kita ambil salah satu prinsip, yaitu prinsip republik, tegasnya. Menukil pandangan Robertus Robert, republikanisme menyediakan sejumlah preposisi. Pertama; mengenai kebaikan bersama (common good). Kedua; civic virtue (keutamaan wargawi). Ketiga; partisipasi kewargaan. Partisipasi ini tidak akan muncul secara alamiah karena membutuhkan pembentukan atau mind-set tertentu. Keempat; karena partisipasi memiliki arti fundamental, maka penting adanya institute politik untuk membentuk dan mengantarkan warga ke dalam politik dalam rangka mencapai good life. Kelima; keberanian untuk memperjuangkan kebaikan bersama.

Mengakhiri paparannya, Susi mengemukakan, "Menuju seabad Indonesia Merdeka, pertanyaan paling mendasar adalah kesungguhan bernegara yang bertumpu pada kesadaran berbangsa yang ditunjukkan oleh para penyelenggara negara dan pemerintahan, dan para elit politik.

Hal ini penting digarasbawahi, tegasnya, karena dari merekalah kebijakan-kebijakan diusulkan, diolah, untuk dijadikan sebagai keputusan yang akan dilaksanakan, yang berwujud dalam berbagai bentuk, seperti peraturan perundang-undangan. Dan diantara penyelenggara negara dan pemerintahan, Presiden merupakan pelaku utama yang memegang peran penting. Presiden bukan hanya hanya melaksanakan ide bangsa dan negara, melainkan turut membentuk berdasarkan kebaikan bersama dalam rangka mencapai good life.

Pada sesi interaksi dengan peserta, tampil tiga pembicara, masing-masing bersoal tentang dimensi ideal dan filosofi kepemimpinan sari salah seorang aktivis alumni UI. Soalan tentang Presiden terpilih dan isu hak asasi manusia dari aktivis kampus Universitas Trisakti yang menyoal peristiwa 1998, yang langsung direspon dan disanggah oleh mantan jurnalis yang menjadi politisi Gerindra, Tamalia Alisjahbana.

Romo Setyo dan Susi merespon ketiganya dengan menegaskan pandangan yang disampaikan sebelumnya. Khas ihwal isu terkait peristiwa pelanggaran HAM, Sulistyowati memberi tawaran solusi, agar dilakukan penelitian dan pengkajian ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan, supaya persoalannya jernih dan selesai. Dan, diskusi berakhir seperti kesan Ambotang, melacak kepemimpinan negeri ini, laksana menyoal kursi panas dingin di zaman kalatida.. | tokngah

Editor : delanova | Sumber : Diskusi Kepemimpinan AJ
 
Seni & Hiburan
19 Nov 24, 08:29 WIB | Dilihat : 545
Kanyaah Indung Bapak
20 Jul 24, 21:32 WIB | Dilihat : 1416
Voice of Baceprot Meteor dari Singajaya
Selanjutnya
Sporta