Nak, anakku..
Kulipat ramai jadi sunyi,
kangen gelepar di ujung waktu
pada persinggahan kembara.
Salju turun berambat, mengubah wajah kota.
ketika lelah meminta rebah istirah terbayang wajahmu.
kulihat sunyi jelma hamparan asa
tempat benih kasih sayang tumbuh
jadi rerimbunan pokok cinta
terus tumbuh terbina masa
meski angin dan badai menghempas kita
di tatap pandang tajam matamu
kuletakkan keabadian kasih sayang dari-Nya
kutuliskan puisi tentang sunyi
yang tak pernah berubah jadi lagu
pengantar tidur di setiap lelah..
Nak, anakku..
di basah tatap pandang matamu
kubaca seluruh aksara tentang hidup yang telah kukunjungi,
sedang kutelusuri, dan yang tak kan pernah kusinggahi.
imajiku tak kuasa melesat terbang jauh memasuki takdirmu
jemariku tak berani menggubah syair
yang harus kau dendangkan
bahkan ujung penaku tak menuliskan puisi
tentang bagaimana aku harus berharap
meski kutahu kau bisa membaca harapku
pada malam ketika resah menghadang istirah
sering kubaca ulang rangkai cerita seluruh gontai langkahku
di laluan panjang kehidupan
menyibak belantara tempat ku tinggalkan tapak-tapak sejarah
Tapi tak pernah berani aku menuliskannya untukmu
karena kuingin kau menuliskan sendiri
kisah hidupmu kelak kan jadi simpul cita dan asa
di sana kau kan tuliskan ikrar abadi
tentang cinta
penuh warna
cinta insani kepada Al Khaliq
bukankah sejak masih kecil dan merangkak tumbuh
lalu menjadi sosok lelaki dewasa
kau kusiapkan menjadi dirimu sendiri..
tugasku sebagai ayah hanyalah memberimu jalan
untuk melangkah
melindungimu dari cuaca pergantian musim
yang kini tak bisa diprediksi lagi
Nak, anakku..
tak kan pernah cukup apapun yang kuberikan kepadamu
karena tanggungjawabku memeliharamu
sebagai amanah tidaklah berakhir
hanya pada ketika kau berikan aku ijazah
atau ketika kau memetik dawai asamu
mendendangkan lagu sukacita
amanah seorang ayah kepada anak-anaknya
tak berbilang ruang
tak berbatas waktu
bahkan mungkin sampai Al Khaliq memanggil pulang
dan meminta pertanggung jawaban
sebagai penerima amanah
menjadi orang tua,
menjadi ayah
bukanlah sesuatu yang mudah
tak hanya karena ayah adalah cermin hidup
bagi anak-anaknya
juga karena ayah adalah sosok insan
berpadanan sukma dengan jiwa anak-anaknya
laksana dua garis linear membentang bersejajaran,
tapi tak pernah mungkin menjelma dalam satu garis
kadang kufikir,
menjadi ayah adalah menjadi mentari faktanya,
menjadi cahyanya pun aku tak cukup daya
aku bukan penunjuk jalan
yang boleh menuntunmu ke mana kumau,
ke mana kurancang
aku sekadar memandu jalan bagimu
menuju duniamu
kupandu kau, melangkah di titian janjiku
kepada Al Khaliq pautan hidup
berpadu di gelora kehidupan menggencar
yang kita pegang kokoh melintasi ruang dan waktu
laluan cinta hanya ‘tuk gapai cinta-Nya
laluan kasih sayang tuk raih rahman rahim-Nya
Nak, Anakku..
kulipat jadi sunyi, kubuka sunyi jadi riuh
kutebar kebajikan sebisa kumampu
kutanam di hampar luas keikhlasanku
benih-benihnya tumbuh merambah ladang hidup
di setiap fajar tiba,
selepas sujud membasah air mata
kugumamkan do’a-do’a ke titik arasy-Nya
jadi ungkapan cintaku kepadamu
cinta ayah kepada puteranya
yang ‘kan terbaca di gerai cindai
tapi mungkin tak kan pernah kukunjungi
Kini, kau telah tumbuh menjadi lelaki
Yang melintasi pagi di awal hari
Yang melintasi siang dengan panas menantang
Yang melintasi senja selepas petang
Sebelum melintasi malam menawarkan tilam
Lelaki yang melangkah tegap di jalannya
Memikul tanggung jawab bagi dirimu dan keluargamu
bagi kehidupanmu sendiri
yang tak pernah ingin kubayangkan
meski kelak hampar hidupmu adalah
taman sari
penuh bebungaan aneka warna
bertabur wewangian semerbak berpadu
sebelum petir mengguruh
yang bisa kupesankan
sekadar cara menghadapi angin dan badai
menyiasati petir kala badai
mengimbangi guncangan bumi kala gempa
aku hanya punya angin ringan desaunya
kelak menerbangkan rinduku pada anak-anakmu
pada canda sukacita senyum tipis mereka
sebelum kupejam di jelang malam separuh
Nak, anakku..
di pantai imaji kau berlari riang ria
menyambut rembulan tiba
membaca canda para bidadari
yang kelak kan diturunkan Ilahi
bocah-bocah mungil yang tumbuh kembang
dengan kisah dan ceritanya sendiri-sendiri
bila masih tersedia waktu menyaksikannya
kala itu aku kan tebar senyum terindah
seperti senyum menyambut asa
ketika mimpi indah mendekap
sebelum tiba pergantian waktu
Nak, anakku
Dalam dekap dingin ketika jendela kamar kubuka
Di seberang sana, kastil tua hantarkan terang cahaya lelampuan
Lelampuan penghias jembatan penyeberang sungai
Sudah redup, karena pagi sebentar tiba.
Di kota tua tempat Tuhan sulit dicari
Allah nan maha Pengasih maha Penyayang
selalu memanduku Ketika kukenangkan kau K
ukirimkan dalam puisiku aliran cinta-Nya
Teruslah tumbuh sebagai lelaki dewasa
pemandu hala di laluan menuju cintamu
menuju cinta-Nya
Malam tak menyisakan remang ketika baru saja berlalu.
Rembulan tak pernah gelisah
Saat mesti pergi sebelum mentari ganti memancar.
Dingin yang turun bersama salju
Seperti asa yang turun bersama berjuta kehendak
Angan biasa lelaki beranjak tua
Yang merasa lelah ngembara
Tapi, bagaimana aku mesti istirah,
melepas lelah,
walau telah terlalu lama kucari ruang tetirah.
Sekadar mencari tempat raga mesti direbahkan.
Mungkinkah belum usai saat ngembara?
Tak henti melintas masa.
Dan istirah hanya sesaat melepas sendawa.
Nak, anakku
Tubuhku mulai ringkih
Tak lagi sanggup dibekap dingin
Tak kuasa lagi mendekap panas
Di beragam tempat
Di beragam musim
Di sudut ruang dunia
Di persimpangan masa
Yang kusadari adalah kusut lusuh wajahku
belum lagi terbasuh.
Cindai Ilahi yang kuterima dari mendiang ayah ibuku
Tak cukup teliti kupelihara
Koyak ujungnya, moyaknya belum terajut.
Semestinya aku yang merajut tilam di gelap malam.
Tapi mataku tak cukup terang
Kulihat jalan hidup dalam remang
Dalam lelah letihku, aku kan terus ngembara
hingga entah bila.
Aku masih ingin melihat semua anak cucuku
Tumbuh berkembang memberi warna bagi subuhku kelak
Di sela usia dan aksara yang tanggal satu-satu
tak banyak yang bisa kukatakan padamu
Teruslah membuka cakrawala fikir dan nurani
Ikuti jejak Muhammad Rasulullah
seteguh keyakinan
Karena jalan yang dibentangnya
adalah jalan keselamatan dan kedamaian
Pahamkan Allah Azza wa Jalla,
pembawa cahaya di gelap masa
Pintal lah kain kehidupanmu,
cukup hanya di simpul ma’rifat
Jangan masukkan sulaman maksiyat
Ikhlaskan hati menyaksi:
Laa ilaaha illallaah
Karena tauhid, buahnya surga.
Langit bumi dan seisinya adalah hujjah
Dengan hati, lisan, dan tangan
mari hanya berlindung kepada-Nya:
Laa ilaaha illallaah. Muhammad Rasulullah
Hanya pada-Nya kita berserah.
Pokok ad Dien, ma’rifatullaah
Dengan tashdiq aku ber-ma’rifat.
Dengan tauhid aku ber-tashdiq.
Dengan ikhlas aku ber-tauhid.
Dengan cahaya karamah
Ajak isteri dan anak-anakmu kelak
tak henti ber-shalawat
Itulah laluan ibadat, haluan syariat, kajian thariqat, pemakna hakikat
Fahamkan isyarat tegakkan shalat,
hingga cerah laluan di ba’dal mamat
Allahumma shalli alaa Muhammad Wa alii Muhammad
Memaknai rahmat, sebelum sampai ke batas
Rentang silaturahim jangan putuskan.
Laksana bumi mengelilingi matahari
Laksana rembulan mengelilingi bumi
Kelak, ketika waktumu meminang gadis
Ambil yang tepat menjadi isteri
Perempuan shalihat
Tak berbantah diberi nasihat
Mengikut jalanmu sepanjang hayat
Bagimu, aku gumamkan doá :
O.. Allah
Kuatkan terus simpul perekat
Biar anak-anakku jadi sahabat
Melangkah serempak dalam khidmat menuju cinta-Mu
Mohon dengan sangat
Pautkan kami dalam irama waktu.
Senantiasa merasa kecil
Hanya di hadapan-Mu saja
O.. Allah
Mohon dengan sangat,
beri ampun seluruh dosa hamba
Beri ampun seluruh noda dosa orang tua kami
Beri ampun seluruh noda dosa isteri, anak, menantu, cucu
dan orang-orang terkasih bagi hamba..
Beri ampun seluruh orang yang kami cinta.
Beri ampun siapapun jua, yang dengannya
Engkau pautkan persahabatan dan persaudaraan kami
Oo.. Allah
Mohon dengan sangat
Seluruh ikhtiar kami jadi berkah berbuah rahmat
Jangan sampai berubah laknat..
Amiin..
(Budapest, 2013)