Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana - AJ

Bangsa Indonesia Perlu Belajar Berpikir

| dilihat 744

Anjuran pertama Sutan Takdir Alisjahbana yang dikemukakannya dekade 1930-an masih relevan. Bangsa Indonesia perlu belajar berpikir dan tak segan belajar dari mana saja. Dengan mengamini pengamatan serta anjuran tersebut, mau tidak mau kita harus mengamanatkan tugas ini pada pundak pendidikan.

Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB), Iwan Pranoto menyampaikan renungan (sekaligus pekerjaan rumah) tersebut, ketika menyampaikan Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana, Selasa (6/12/22) petang di Teater Kecil, Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Dalam kuliah kenangan yang diselenggarakan Akademi Jakarta tersebut, Iwan Pranoto memungkas dengan menyatakan, "Strategi pembangunan dan pendidikan nasional dituntut setegas dan selugas Takdir mendiagnosis penyakit dan menuliskan resep obatnya yang langsung menghunjam tajam ke inti penyakit."

Sebagai seorang matematikawan, Iwan menyampaikan kuliahnya bertajuk "Kesalingterhubungan Pemikiran," dengan memikat. Ia mengemukakan, dalam perjalanan sejarah modern, lemahnya kesalingterhubungan pemikiran sains-teknologi dan pemikiran ilmu kemanusiaan sudah pernah disorot. Yang paling populer, menurut Iwan, tentunya kuliah The Two Cultures oleh Charles Percy Snow.

Iwan mengemukakan, dalam kuliahnya yang berjarak sekitar 25 tahun setelah Polemik Kebudayaan (di Indonesia), itu Snow menyampaikan kritik, bahwa dunia intelektualitas Inggris kala itu timpang dan cenderung lebih menghargai bidang sastra ketimbang bidang ilmu pengetahuan alam.

Snow, menurut Iwan, melanjutkan, seseorang belum dapat dianggap intelektual jika dia belum membaca buku-buku karya sastrawan besar. Padahal, menurut Snow, sejumlah teori besar dalam fisika, seperti hukum termodinamika, seharusnya dinilai sama pentingnya dengan karya sastra besar. "Tentunya hari ini, kita mengamati keadaannya bisa jadi terbalik," ungkapnya.

Selanjutnya, ungkap Iwan, Snow berargumen bahwa akibat dari minimnya pemahaman serta simpati antara kelompok sains-teknologi dengan ilmu kemanusiaan, banyak masalah di dunia ini tak dapat diselesaikan. Lalu, ia menyebutkan tiga permasalahan global yang dihadapi dunia masa itu, yakni ancaman senjata nuklir, populasi manusia yang meningkat cepat, dan kesenjangan antara negara miskin dan kaya.

Snow beralasan, jelas Iwan, bahwa karena kebanyakan pemimpin publik kala itu dari disiplin kesusastraan, para pemimpin itu kurang mampu menemukan solusi tiga masalah besar tadi berdasar sains. "Ini untuk menegaskan bahwa permasalahan dunia kala itu, dan juga sampai sekarang, membutuhkan pendekatan lintas disiplin. Maka, Snow selanjutnya mengajak para pegiat di kedua area untuk membangun jembatan kedua kelompok guna melanjutkan kemajuan pengetahuan manusia serta menguntungkan masyarakat. Mengutip Krauss, Iwan mengatakan, kenyataannya jembatan itu belum juga terwujud.

Iwan mengemukakan, walau kesenjangan komunikasi dua budaya yang akhirnya jadi topik populer yang diperdebatkan ialah pemisahan budaya sains-teknologi dan ilmu kemanusiaan, sesungguhnya Snow juga menyorot kesenjangan lain yang tak kalah penting.

Pada bagian lain kuliahnya, Iwan mengemukakan, rendahnya kesalingterhubungan antara budaya sains-teknologi dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950-an itu masih belum teratasi. Teluk yang memisahkan keduanya masih tetap memisahkan kedua budaya. Sedang jembatan yang diusulkan Snow guna menghubungkan dua budaya belum juga terwujud.

Menurut Iwan, berbeda dengan dampak keterpisahan antara dua budaya tadi, hari ini lebih serius. Hari ini, katanya, justru kesenjangan dua budaya itu malahan menciptakan berbagai masalah yang ditimbulkan semakin luas atau mengglobal dalam kehidupan yang teralgoritmakan ini.

Gawatnya, ungkap Iwan, kita masyarakat kurang krits dan bahkan mewajarkan terjadinya pengikisan nilai-nilai kemanusiaan oleh beberapa teknologi, misalnya teknologi surveillance atau pengawasan. Bahkan dalam konferensi keamanan dunia saiber, mengutip Eesti Elu, Iwan menyatakan, mantan Presiden Estonia mengingatkan berbahayanya pengabaian nilai-nilai kemanusiaan ini.

Iwan mengungkapkan, dalam kehidupan teralgoritmakan, di satu sisi kita merasa hidup telah sangat dimudahkan oleh keberadaan teknologi serta pengumpulan informasi yang besar. "Kita masing-masing dilayani secara personal, karena mesin begitu mengetahui tentang diri kita," ungkap Iwan.

Lebih lanjut, Iwan mengemukakan, dalam kehidupan politik, bahkan dalam proses pemilihan pemimpin publik di Indonesia, Myanmar, India, Amerika Serikat, Prancis, dan lainnya, yang berkampanye tidak lagi terbatas manusia semata, karena algoritma dalam media sosial justru berkampanye 24 jam tanpa henti.

"Hebatnya lagi, algoritma lebih mampu memilihkan infomasi yang paling besar kemungkinan disukai masing-masing kita dan besar kemungkinan akan berhasil mempengaruhi kita," ungkapnya.

Pendeknya, jelas Iwan, algoritma sudah diberi hak berpolitik di zaman ini. "Ironinya, pada saat ada upaya di beberapa negara untuk menghambat hak masyarakat termarjinalkan dalam politik, algoritma malah telah bebas berpolitik dengan jauh lebih efektif dibanding manusia," jelas Iwan.

Selain itu, katanya, yang sesungguhnmya paling mengkuatirkan dalam fenomena pelibatan algoritma dan robot dalam berpolitik ialah semakin liarnya ujaran kebencian dan kebohongan yang menyebar lewat media sosial.

Walau pihak korporasi teknologi raksasa yang mengendal;ikan media sosial kerap menjanjikan algoritmanya mampu menghapuskan menghapuskan pesan-pesan kebencian, tetapi kenyataannya korporasi teknologi lebih memilih laba dibanding membersihkan ujaran kebencian, karena tidak mungkin menghasilkan laba jika tak ada ujaran kebencian di media sosial. Algoritma sudah menunjukkan bahwa dirinya jauh dari netral dalam politik. | masybitoch

Editor : delanova
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 714
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 871
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 823
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya